.

Sumur Minyak

Saat ini Indonesia memiliki 1.100 lapangan minyak (sumur minyak) yang sudah beroperasi. Sebanyak 3 ribu lapangan minyak lainnya menunggu untuk dieksplorasi.

Panas Bumi Kamojang

Usulan JB Van Dijk pada tahun 1918 untuk memanfaatkan sumber energi panas bumi di daerah kawah Kamojang, Jawa Barat, merupakan titik awal sejarah perkembangan panas bumi di Indonesia.

Bendungan Saguling

Bendungan Saguling adalah waduk buatan yang terletak di Kabupaten Bandung Barat pada ketinggian 643 m di atas permukaan laut. Waduk ini merupakan salah satu dari ketiga waduk yang membendung aliran sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat.

Rig Pengeboran

Rig pengeboran adalah suatu bangunan dengan peralatan untuk melakukan pengeboran ke dalam reservoir bawah tanah untuk memperoleh air, minyak, atau gas bumi, atau deposit mineral bawah tanah.

Rabu, 21 Desember 2016

Renewable energy. We know it but deny it.

Renewable energy. We know it but deny it.

oleh: Arief Murnandityo, Farianto, Gilang Permata Saktiaji, Hizkia Sandhi Raharjo

Availability and quality problems menyebabkan tingginya biaya energi yang merupakan komponen biaya operasional yang tinggi bagi operator telekomunikasi Indonesia saat ini dan salah satu kendala bagi pembangunan broadband saat ini.

Penurunan biaya energi menjadi penting  guna meningkatkan EBITDA di tengah lesunya bisnis. 

Berbagai teknik telah dicoba termasuk penggunaan renewable energy dengan hasil yang cukup menggembirakan untuk tahap permulaan.

Namun, mengapa dihentikan?

TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari studi kasus ini adalah sebagai sarana belajar bagi mahasiswa untuk membangun awareness di bidang energi terkait dengan bidang telekomunikasi dengan memperhatikan dan mengikuti perkembangan yang terjadi untuk kemudian menarik pengetahuan yang berharga dari artikel dan diskusi yang terjadi.

PERTUMBUHAN BISNIS TELEKOMUNIKASI DUNIA

Industri telekomunikasi dunia berubah drastis dalam 10 tahun terakhir
ditandai dengan makin banyaknya customer yang bersifat “data-hungry” dengan menggunakan berbagai smart devices sehingga meningkatkan kebutuhan akan bandwidth yang semakin besar. 
Dari total 7,5 miliar langganan yang tercatat untuk layanan mobile pada kuartal ke-3 tahun 2016 di seluruh dunia, 55%-nya adalah pengguna smartphone.
(Sumber: Ericsson Mobility Report, November 2016). 
Semakin banyaknya penggunaan smartphone tersebut mempengaruhi pertumbuhan payload data seperti yang ditunjukkan oleh grafik dan tabel berikut:

Gambar 1. Pertumbuhan Payload Data dan Trafik Voice di Seluruh Dunia Q3 2011 – Q3 2016
(sumber: Ericsson Mobility Report, November 2016)

Pengaruh transformasi digital yang terjadi pada industri telekomunikasi yang ditandai dengan semakin banyaknya mobile content, applications, services dan smart devices
terus mendorong operator telekomunikasi di seluruh dunia untuk mengambil keputusan-keputusan strategis dalam mengantisipasi pertumbuhan trafik data yang diprediksi semakin meningkat dalam beberapa tahun ke depan agar bisnis tetap memiliki sustainable growth
Tabel 1. Pertumbuhan Trafik Data Berdasarkan Regional
(sumber: WP Cisco Visual Networking Index: Forecast and Methodology, 2015-2020)

Sejauh ini hasil dari transformasi yang dilakukan para operator telekomunikasi tersebut menunjukkan hasil yang beragam,
secara global trend pendapatan operator telekomunikasi dalam kondisi stagnant seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 berikut:

Gambar 2. Pertumbuhan Pendapatan Operator Wireless Worldwide
(sumber: Ericsson Mobility Report Appendix, Mobile Business Trends, November 2015)

Walaupun secara global ada trend pertumbuhan pendapatan operator seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2 di atas, trend ARPU secara global menunjukkan terjadinya penurunan.  


Gambar 3. Trend ARPU Di Berbagai Regional

Trend penurunan ARPU ini menjadi salah satu tantangan yang dihadapi para operator telekomunikasi saat ini 
termasuk bagaimana memonetisasi pertumbuhan layanan mobile data agar menjadi sumber pendapatan lain bagi operator. 
Di banyak negara, pendapatan dari mobile data terbukti tidak mencukupi untuk menggantikan layanan legacy seperti voice dan SMS yang terus mengalami penurunan;
salah satunya disebabkan oleh maraknya pengguna dan aplikasi Over The Top (OTT) seperti Whatsapp, Line, Telegram, dan sebagainya. 
Aplikasi-aplikasi OTT tersebut memiliki potensi mengurangi pendapatan operator telekomunikasi sebanyak 50% hingga 90%. (sumber: The Future Communications Service Provider, Accenture, 2015).

PERTUMBUHAN BISNIS TELEKOMUNIKASI INDONESIA

Pendapatan terbesar operator telekomunikasi yang dulu berasal dari voice dan SMS kini tidak lagi terjadi.
antara lain akibat dari perubahan gaya hidup, pergeseran teknologi, dan trend pemakaian perangkat ke layanan data dan digital sebagai dampak yang kurang diperhitungkan dari digelarnya layanan data oleh operator,
hal ini menyebabkan penurunan sisi revenue yang berasal dari voice dan SMS dan  terjadi dengan sangat cepat.

Gambar 4. MoU dan ARPU Telkomsel 2006 - 2014
(sumber: laporan keuangan tahunan)
Trafik layanan voice (MoU) Telkomsel masih terus tumbuh walaupun trend ARPU (Average Revenue Per User) mengalami penurunan seperti yang terjadi pada trend ARPU global.

SITUATION

Dengan melihat kondisi bisnis operator telekomunikasi di atas, terutama bagi operator yang mengalami stagnasi pertumbuhan bisnis,
efisiensi biaya adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk kembali meningkatkan EBITDA perusahaan. 
Komponen biaya energi dalam hal ini konsumsi biaya listrik untuk perangkat-perangkat telekomunikasi adalah salah satu komponen OPEX yang paling besar
yang dapat mencapai 50% dari komponen biaya operasional network
dan 8% dari total biaya operasional perusahaan.
(sumber: Kuliah Kapita Selekta, Telecommunication Access Network Energy Management 2016). 
Para operator terus berusaha mencari strategi untuk menurunkan OPEX
terkait energi baik untuk tujuan memotong biaya operasional guna meningkatkan profitabilitas serta mendukung program pemerintah dalam isu lingkungan hidup dan penghematan energi (go green). 
Diantara beberapa alternatif solusi untuk menurunkan biaya energi adalah opsi dengan memanfaatkan teknologi energi terbarukan (renewable energy).

Renewable energy (RE) 

Teknologi ini mengacu kepada sumber energi yang dapat digunakan tanpa menghabiskan persediaannya.
Hal ini berarti bahwa sumber energi terbarukan dapat dibangkitkan atau diperbaharui kembali dalam waktu yang relatif singkat. 
Diantara beberapa sumber energi terbarukan yang digunakan adalah sinar matahari, angin, bioenergi/biomass, energi air, energi panas bumi, gelombang air pasang serta bahan bakar alternatif seperti ethanol dan biodiesel. 
Pada aplikasi untuk telekomunikasi, 
suatu solusi yang efisien dan handal adalah dengan mengkombinasikan sumber energi terbarukan dengan sumber energi “tradisional”. 
Sistem tenaga listrik hybrid tersebut dapat saling melengkapi dan memberikan fitur terbaik dari tiap-tiap sumber energi dan dapat menyediakan sumber daya listrik sekelas energi listrik dengan “grid-quality” pada tingkat harga yang dapat diterima.
Untuk dapat mencapai kondisi power yang tidak terputus bagi perangkat telekomunikasi dengan kualitas power yang baik, sistem energi hybrid dilengkapi dengan sistem penyimpanan energi (battery) dan teknologi redundant.   

Menurut laporan GSMA Green Power for Mobile tahun 2014,
banyak perusahaan penyedia infrastruktur dan energi di dunia mencari solusi jangka panjang untuk efisiensi energi, penurunan biaya energi dan kepastian harga energi karena biaya pembangkitan dan penyediaan energi tersebut mencapai 60% dari total pengeluaran tahunan. 
Menurut Economic Times, Bharti Infratel, salah satu perusahaan penyedia infrastruktur di India,
berhasil menerapkan energi terbarukan untuk efisiensi biaya energi dengan capaian cost saving hingga sekitar 55 miliar rupiah per tahun. 
Di Indonesia sendiri,
salah satu operator telah menerapkan teknik CDC pada lebih dari 500 sitenya.


PROBLEM

Penerapan energi terbarukan yang sebagai alternatif untuk menurunkan biaya energi di industri telekomunikasi 
kurang diterapkan di Indonesia
Menurut laporan GSMA Green Power for Mobile - Greening the Network: Indonesia Market Analysis tahun 2013, 
dari 90.699 site tower di Indonesia,
aplikasi energi terbarukan/green power solution hanya diterapkan pada 5% atau 4.590 site saja.
Dari 4.590 site tersebut, 87% menggunakan solusi RE berbasis solar (sinar matahari) dan diikuti dengan solusi berbasis fuel cell sebanyak 556 site. 
Berikut adalah gambar distribusi kategori yang diterapkan di Indonesia.


Gambar 5. Penerapan RE Pada Operasi Telekomunikasi Indonesia
(sumber: laporan GSMA Green Power for Mobile - Greening the Network: Indonesia Market Analysis tahun 2013)
Dari paparan di atas, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah mengapa para operator Indonesia masih enggan untuk menerapkan teknologi renewable energy
sementara aplikasi energi terbarukan terbukti mampu menurunkan biaya energi bagi banyak operator lain di berbagai belahan dunia.

PEMBAHASAN

Salah satu penyedia layanan infrastruktur (tower provider) terbesar di India, Bharti Infratel sejak tahun 2013
telah menggunakan RE seperti Solar Panel pada 1.050 site mereka dan sudah menghemat 6,9 juta liter bahan bakar dan sekitar 280 juta Rupee atau sekitar 55 miliar rupiah per tahun.
Selain itu Bharti mengimplementasikan Integrated Power Management System (IPMS) dan Variable Speed DC Generator (DCDG) pada 900 site dan menghemat sebesar 47 juta Rupee atau sekitar 9,2 miliar rupiah per tahun. 
Vodafone juga melakukan hal yang sama, sesuai dengan kampanye mereka “ReSolve”. 
Pada tahun 2010 Vodafone melakukan uji coba penggunaan Solar Power pada 4 site dan mereka meyakini dengan penggunaan Solar Power dapat mengurangi ketergantungan terhadap Diesel Generator dengan pengurangan sebesar 2,8 juta kg CO2 per tahun.
Selain itu, pada tahun 2011 Vodafone juga mengimplementasikan Hybrid Solution (Diesel Generator + Battery) pada 2200 site yang dimiliki dan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar sebesar 26 juta liter atau setara dengan 7 juta kg CO2.

Salah satu operator di Indonesia menerapkan teknik CDC di lebih dari 500 site miliknya. 
Teknik ini menggunakan dua genset dan satu baterai sebagai catu daya.
Genset diatur bekerja menyuplai beban site sekaligus sebagai catu daya charging baterai.
Berdasarkan data aktual, teknik CDC dapat menghemat pemakaian bahan bakar hingga sebesar 75%.(sumber: http://www.manajemenenergi.org/2012/11/cdc.html). 

 Sekilas CDC

Dengan menggunakan teknik CDC, setiap bulannya akan terjadi penghematan sebesar USD 1,4 juta. 

Gambar 6. Diagram CDC
(sumber: http://www.manajemenenergi.org/2012/11/cdc.html)

Dengan investasi total di awal sebesar 25,4 juta dolar AS, 
maka biaya investasi tersebut akan tergantikan dengan penghematan yang terjadi selama 18 bulan atau 1,5 tahun.
dengan usia teknis selama 4 tahun maka dengan sisa 2,5 tahun berikutnya adalah total penghematan yang bernilai sekitar USD 40 juta (sumber: http://www.manajemenenergi.org/2012/11/cdc.html). 

HIPOTESIS

Awareness dari para operator telekomunikasi di Indonesia terhadap pemanfaatan renewable energy dan solusi hybrid lainnya untuk menekan biaya energi sepertinya masih rendah.

QUESTIONS

  1. Dan walaupun sudah diimplementasikan pada sejumlah site, mengapa operator di Indonesia tidak mengimplementasikan RE dalam jumlah besar?
  2. Apakah secara teknis masih dianggap kurang layak? Apa saja yang menjadi kendalanya?
  3. Apakah biaya investasi yang tinggi di depan menjadi penyebab dari enggannya operator untuk memanfaatkan RE walaupun sesuai data bahwa biaya operasional site akan lebih rendah hingga 30% ?
  4. Apakah pola outsourcing (manage service) energi pada operator telekomunikasi dapat diterapkan?
  5. Di sejumlah daerah yang disebut memiliki rasio elektrifikasi tinggi namun pada kenyataannya terkendala dengan availability (ketersediaan), dan kualitas, dan kehandalan (reliability). Berapa besar opportunity lost yang ditimbulkan? Apakah ini yang menjadi salah satu penyebab keengganan tersebut? 
Mari kita diskusikan ...
++

Artikel terkait:

1. Infrastructure sharing. Why?
2. Telco needs a new engine? Apa spesifikasinya??
3. Telecommunication at the crossroad?
4. What is the truth here?


Senin, 31 Maret 2014

Artikel Khusus 08: Why Importing Energy Is Not A Big Issue For The Developed Countries

The challenge series

oleh: Bagus W. Wahyuntoro & Fajardhani
Impor energi dituding menjadi penyebab terganggunya perekonomian. Posisi “net importer” digadang-gadang menjadi titik lemah perekonomian. 

Namun mengapa 10 developed countries tetap menjadi importir energi terbesar di dunia dan perekonomian mereka lebih baik dari developing countries? 

Jika demikian, lalu apa salahnya menjadi “net importer”?

TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari studi kasus ini adalah sebagai sarana belajar bagi mahasiswa dan membangun awareness di bidang energi dengan memperhatikan dan mengikuti perkembangan yang terjadi untuk kemudian menarik pengetahuan yang berharga dari artikel dan diskusi yang terjadi.

PERAN ENERGI

Energi berperan dalam menyediakan daya yang diperlukan bagi kegiatan produktif untuk menghasilkan nilai tambah dan konsumsi, yang mana kombinasi keduanya akan menggerakkan roda perekonomian.
Kekurangan energi dapat mengganggu perekonomian.

NERACA PERDAGANGAN

Neraca perdagangan suatu negara menyajikan keseimbangan nilai ekspor dan impor suatu Negara pada periode tertentu. 

Gambar 1. Neraca Perdagangan Indonesia 10 Tahun Terakhir
(Sumber: BPS yang diolah oleh Kementerian Perdagangan RI)
Apabila nilai impor melebihi ekspor akan menyebabkan neraca perdagangan menjadi negatif (arus kas negatif).
Berikut ini neraca perdagangan untuk sektor Migas.

Gambar 2. Neraca Perdagangan Sektor Migas
(Sumber: BPS yang diolah oleh Kementerian Perdagangan RI)
Berikut adalah neraca perdagangan untuk sektor Non-Migas

Gambar 3. Neraca Perdagangan Sektor Non-Migas
(Sumber: BPS yang diolah oleh Kementerian Perdagangan RI)
Ekspor bahan mentah termasuk natural resources dan commodities (low value goods) menjadi handalan devisa dan penggerak perekonomian bagi negara-negara berkembang (developing countries) atau terbelakang (under developed countries). 
Apabila perkonomian tumbuh, konsumsi akan meningkat dan merubah gaya hidup masyarakat .
Jika kebutuhan tidak dapat dipenuhi oleh kegiatan produksi dalam negeri maka nilai impor pasti meningkat. Peningkatan impor dapat tumbuh dengan sangat tinggi.
Pada suatu titik akan timbul masalah, nilai ekspor tidak lagi dapat mengimbangi nilai impor akibat berbagai hal. Diantara penyebabnya adalah menurunnya harga komoditi, habisnya cadangan, terganggunya kegiatan produksi, dan tidak adanya nilai tambah bagi barang komoditi yang diekspor.
Gambar 4. Ilustrsi Pertumbuhan  Impor Melebilihi Ekspor
Pada umumnya negara-negara berkembang terlambat merespon semua ini. 
Dampaknya banyak dijelaskan dalam berbagai tulisan dengan topik the curse of natural resources
Apakah neraca perdagangan menjadi satu-satunya indikator? Coba perhatikan negara perdagangan negara Amerika Serikat selama beberapa dekade terakhir ini.

Gambar 5. Neraca Perdagangan AS
(Sumber: tradingeconomics.com)

KONSUMSI ENERGI

Konsumsi energi per kapita memberi gambaran tentang tingkat kemakmuran suatu bangsa (lihat Artikel Khusus #01). 

Berikut terlihat negara-negara dengan konsumsi per kapita terbesar di dunia.

Gambar 6. Konsumsi energi per kapita negara-negara di dunia
(Sumber: BP Statistical Review of World Energy, 2009)
Energi yang dikonsumsi sepertinya tidak mempermasalahkan dari mana energi itu diperoleh, apakah produksi dalam negeri atau berasal dari impor.

Gambar 7. Volume impor energi negara-negara di dunia
(Sumber: Enerdata)
Mari kita bandingkan konsumsi energi per kapita Indonesia dengan konsumsi energi per kapita negara-negara pengimpor energi terbesar di dunia tersebut.
Gambar 8. Konsumsi energi per kapita Indonesia dan negara-negara importir energi terbesar di dunia
Terlihat jelas bahwa konsumsi energi per kapita Indonesia jauh di bawah negara-negara maju tersebut..

TINGKAT KESEJAHTERAAN

Mari kita lihat GDP negara-negara pengimpor energi terbesar di dunia tersebut dari tahun ke tahun.
GDP (Gross Domestic Product) merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan tingkat kemajuan ekonomi suatu negara.
Gambar 9. GDP (dalam trilyun dollar) negara-negara importir energi terbesar di dunia
(diolah dari data GDP tercatat di World Bank hingga tahun 2013)
Apabila ada ukuran konsumsi energi per kapita maka ada juga ukuran dengan menggunakan GDP per kapita. 
Bagaimana posisi GDP per kapita Indonesia bila dibandingkan dengan GDP per kapita negara-negara pengimpor energi terbesar di dunia?
Gambar 10. GDP per kapita Indonesia dan negara-negara importir energi terbesar di dunia
(diolah dari data GDP per kapita yang tercatat di World Bank)
Selain itu, statistik Human Development Index (HDI), yang merupakan ukuran lain yang dipakai untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu negara, memperlihatkan negara-negara pengimpor energi yang besar memiliki HDI yang lebih tinggi.

Gambar 11. Human Development Index (HDI) Indonesia Di Tengah Negara-Negara Importir Energi Besar Dunia
(Sumber: UNDP, 2013)

SIMPULAN SEMENTARA

Jelas bahwa ketersediaan energi sangat penting bagi kemajuan suatu negara dan bagaimana energi tersebut diperoleh terlihat indifferent disini. 
Walau termasuk dalam 10 negara pengimpor energi terbesar, negara-negara tersebut justru memiliki GDP yang tinggi (walau pertumbuhannya bisa relatif rendah saat ini).
Negara-negara tersebut terlihat berupaya mempertahankan tingkat harga energi di level tertentu untuk menjaga keunggulan yang diperlukan dalam persaingan (lihat Artikel Khusus #01).

Gambar 12. Harga energi listrik untuk industri negara-negara maju
(diolah dari 2012 Key World Energy Statistics, IEA)
Mereka mungkin menyadari bahwa ketahanan energi tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan (availability) namun juga ditentukan oleh:
  • tingkat harga (price level) yang dapat diterima oleh industri dan masyarakat (affordability). 
Volume energi yang diimpor oleh negara-negara maju berada jauh di atas Indonesia.

BAHAN DISKUSI

Pada akhirnya, kita dihadapkan pada serangkaian pertanyaan berikut.
  1. Apakah posisi sebagai "net importer" menjadi satu-satunya penyebab yang mengganggu neraca perdagangan luar negeri kita berikut dampak turunannya? Mengapa mereka tidak?
  2. Apakah membatasi penggunaan energi dalam negeri, misalnya dengan membatasi impor atau mencabut subsidi, membawa dampak baik bagi negara untuk jangka panjang?
  3. Sepertinya diperlukan suatu perbaikan untuk mengatasi hal ini. Apa usulannya? 
Mari bersama-sama kita diskusikan.

Catatan:

  1. Diskusi akademis ini dibuka hingga waktu penutupan kuliah pada bulan Juni 2014.
  2. Diskusi dapat berupa pernyataan yang mendukung atau membantah berupa uraian yang logis dengan informasi pendukung berikut sumbernya. Dapat juga berupa pertanyaan yang relevan. Sebisa mungkin opini tanpa dasar teori yang kuat dan data dihindari.
  3. Pada akhir sesi diskusi akan disusun suatu kesimpulan – yang dapat mendukung atau membantah ide utama artikel ini. 
++++

Rabu, 18 Desember 2013

Artikel Khusus 04: ENVIRONMENTAL Issues and ENERGY Supply

The challenge series

oleh: Adam Rahmadan, Pondy Tjahjono, Tyas Kartika Sari, Willy Sukardi

Isu lingkungan harus diperhatikan untuk menghindari bumi dari efek rumah kaca. 

Apakah ini satu-satunya faktor yang berdiri di atas segalanya?

Ternyata tidak
Berikut ini pembahasannya.

PENDAHULUAN

Upaya negara-negara Eropa yang lebih agresif untuk mengurangi emisi CO2 dengan menggunakan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan mungkin menyebabkan harga energi Eropa saat ini kalah bersaing dengan AS. 
Akibatnya sejumlah industri “pindah” ke AS untuk mengambil keuntungan ekonomis dari rendahnya harga energi di negeri Paman Sam tersebut (selanjutnya lihat: Artikel Khusus 01).
Dari hal ini dapat dilihat bahwa ada keterkaitan yang erat antara isu energi, lingkungan dan ekonomi.
Mengapa energi terbarukan bisa lebih mahal? 
Bagaimana negara-negara Eropa mengatasi isu bahwa energi terbarukan lebih mahal?

INVESTASI DI RENEWABLE ENERGY

Investasi renewable energy di Eropa selama kuartal ketiga 2012 ternyata turun 29 persen menjadi $ 18.200.000.000, dibandingkan dengan periode tahun lalu, menurut ke penyedia data Bloomberg New Energy Finance. (The New Yorks Times).

Grafik Pertumbuhan Investasi Renewable Energi Dunia periode 2004-2012
(sumber : Renewable 2013 Global Status Report)
Penurunan investasi setelah beberapa tahun tumbuh lebih banyak disebabkan oleh ketidakpastian kebijakan dukungan terhadap renewable energy khususnya di Eropa dan Amerika.
Mengapa ketidakpastian kebijakan ini bisa terjadi?
Tahun 2012 adalah tahun yang paling dramastis untuk pertumbuhan renewable energy dunia, dimana terjadi pergeseran, yang awalnya pertumbuhan didominasi oleh negara-negara maju, saat ini pertumbuhan dipegang oleh negara-negara berkembang. (sumber : Renewable 2013 Global Status Report)

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan Investasi Renewable Energy US-ASIA-EUROPE
(sumber : Renewable 2013 Global Status Report)
 Negara-negara Uni Eropa memiliki komitmen untuk  mengurangi gas rumah kaca sebesar 20% dari level tahun 1990 (sumber : European Commission Climate Action). Disamping itu, negara-negara Uni Eropa juga memiliki target untuk menggunakan 20% renewable energy pada tahun 2020. 
Target ini juga membantu komitmen untuk pengurangan efek gas rumah kaca (sumber : European Commission Climate Action).
Gambar 3. Greenhouse Gas Emission From Annex 1 Parties, 1990, 2000, 2005, 2010 and 2011
Penurunan pertumbuhan investasi pada renewable energy secara tidak langsung disebut-sebut dapat mempengaruhi perubahan iklim yang sangat membahayakan bagi manusia. 
Di Amerika Serikat, badai Sandy memakan korban sedikitnya 125 jiwa. 
Di Filipina, 1.000 jiwa lebih jadi korban topan Bopha. 
Baru-baru ini diberitakan badai musim dingin kembali menelan korban di Amerika Serikat dan Rusia (Kompas, 28/12/2012).
Gambar 4. Pergerakan Anomali Temperatur Muka Bumi
Dari grafik di atas dapat dilihat tren kenaikan suhu bumi pada 100 tahun terakhir mengalami peningkatan yang sangat tajam. 
Akibatnya bencana perubahan iklim diperkirakan akan terus terjadi. Sekitar 100 juta orang terancam apabila masalah perubahan iklim tidak segera diatasi (DARA dan Climate Vulnerable Forum, 2012). Mimpi buruk jika negara-negara tak mengurangi emisi gas karbondioksidanya. Diperkirakan kenaikan suhu bisa mencapai hingga 5,3 derajat celsius pada tahun 2100. (sumber : IEA, International Energy Agency)

DILEMMA

Kita dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis.
Bila mempertahankan  renewable energy, harga energi tidak akan kompetitif, 
Sementara bila meninggalkan renewable energy, komitmen untuk mengurangi gas rumah kaca akan terpengaruh begitu juga target untuk mereliasikan pemakaian 20% renewable energy di tahun 2020.
Gambar 5. Estimated Levelized Cost Untuk Pembangkit Baru
(sumber: EIA)

Jika harga listrik dari renewable energy dianggap terlalu mahal lalu apakah isu lingkungan bisa diabaikan begitu saja? 
Tetapi jika dipaksakan, maka harga produk akan kalah bersaing, sehingga tidak sejalan dengan prinsip “to provide energy at the lowest possible cost”.

SEBUAH PEMIKIRAN SEGAR

Selama ini jika berbicara tentang pembangunan pembangkit listrik konvensional umumnya kita berbicara tentang pembangkit pada skala besar (untuk mendapatkan biaya unit terkecil -- economies of scale).
Apakah ini masih valid untuk pembangkit dengan sumber dari renewable energy?
Ada prinsip lain yang perlu dipertimbangkan disini: change the rule change the game.
Cara mudah untuk mengubah sebuah permainan adalah dengan mengubah aturannya.
Artinya mungkin perlu ada perubahan sudut pandang.
Barangkali perubahan ini yang akan menyebabkan harga energi renewable energi lebih kompetitif bagi segmen pasar tertentu. 

BAHAN DISKUSI

Sejumlah pertanyaan kritis kemudian muncul :
  1. Mengapa negara-negara berkembang bisa mempertahankan pertumbuhan investasi pada renewable energy sementara pada Eropa dan Amerika tidak? 
  2. Bagaimana strategi negara-negara Eropa untuk bisa bersaing dengan US dalam soal ketersediaan dan harga energi dengan  tetap memegang prinsip “to provide energy at the lowest possible cost” sehingga tetap ramah lingkungan dengan harga yang kompetitif?

KESIMPULAN DISKUSI (per 31 Desember 2013)

  1. Walau menghadapi berbagai tekanan, renewable energy tetap menjadi poin penting dalam pelestarian lingkungan di bidang energi.
  2. Renewable energy saat ini adalah energi ramah lingkungan dengan biaya pokok produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya sejenis untuk fossil based energy yang telah mapan beroperasi.
Namun pada skala tertentu, renewable energy yang memiliki biaya bahan baku yang relatif rendah dan proses produksi berbeda seharusnya bisa kompetitif untuk pasar tertentu. Pasar yang berbeda dengan pasar fossil based energy.
Keduanya merupakan opsi bagi penyediaan energi untuk pasar tertentu.
++

PEMIKIRAN ANGKATAN BERIKUTNYA (ME-2014)

oleh: 
Muchlishah, Muhammad Arwin, Anandita Willy Kurniawan, Syamsyarief Baqaruzi

Membicarakan isu tentang green energy ternyata tidak sederhana

Isu ini tidak terlepas dari bangunan segitiga Ekonomi – Energi – Lingkungan. 
Disitu ada banyak pihak yang terlibat dimana kepentingan mereka bisa berseberangan. Faktanya semangat untuk membangun pembangkit dari sumber-sumber energy terbarukan di Eropa dan Amerika Serikat menurun pada 2012. 
Sejauh ini energi yang bersumber dari fossil menawarkan tingkat harga yang lebih rendah dari kompetitornya yang menggunakan energi terbarukan tetapi yang pertama dianggap tidak ramah lingkungan. 
Ketersediaan energi yang murah dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif suatu bangsa dan diperlukan untuk menggerakkan perekonomian.
Ketersediaan energi yang murah dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif suatu bangsa dan diperlukan untuk menggerakkan perekonomian.

BAHAN DISKUSI 2014

  1. Mana yang sebaiknya kita dahulukan, pertumbungan ekonomi atau kelestarian lingkungan?
  2. Apakah semua energi fossil menjadi penyumbang efek gas rumah kaca? Dalam kondisi apa mereka tidak menimbulkan efek yang negatif?
  3. Apa betul tingkat harga energi yang bersumber dari energi terbarukan lebih tinggi dari energi fossil? Bagaimana mereka membandingkan keduanya?
  4. Siapa saja segmen pengguna energi (listrik) dan digunakan untuk apa?
  5. Apakah energi yang berasal dari fossil dan energi yang berasal dari sumber-sumber baru dan terbarukan dapat hidup berdampingan? Lalu mengapa sekarang sepertinya tidak demikian?
  6. Bila merujuk pada teori investasi di kuliah Enginnering Economy, ada dua jenis investasi yaitu pertama untuk tujuan peningkatan revenue dan kedua untuk tujuan penurunan biaya (efisiensi). Manakah dari keduanya yang paling tepat untuk menghitung kelayakan energi baru dan terbarukan?

++

Selasa, 17 Desember 2013

Artikel Khusus 03: Why ECONOMIC GROWTH becomes IMPORTANT

The challenge series

oleh: Argianto, Ilham Budi Sriutomo, Rahmawati Agustin, Difi Nuary Nugroho

 Apa yang dimaksud dengan PDB per kapita? Dan apa hubungan PDB per kapita dengan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa?

Bagaimana kondisi PDB per kapita di Indonesia dan bagaimana pertumbuhan konsumsi energi listriknya?

Bagaimana kesiapan Indonesia dari sisi suplai ketenagalistrikan?

PENDAHULUAN

PDB per kapita merupakan ukuran dari total output suatu Negara yang mengambil produk domestik bruto (PDB=GDP) dan membaginya dengan jumlah populasi Negara tersebut.
Suatu Negara membutuhkan pertumbuhan ekonomi atau Gross Domestic Product (GDP) antara lain untuk mensejahterakan masyarakatnya, dimana PDB per kapita yang terus meningkat akan menjadi indikator kualitas kehidupan masyarakat suatu Bangsa.
Pembagian Negara berdasarkan Gross National Income per capita, menurut Bank Dunia (per 1 Juli 2013):
  • Pendapatan rendah: ≤ $1.035
  • Pendapatan menengah: $1.036 sd $4.085
  • Pendapatan di atas menengah: $4.086 sd $12.615
  • Pendapatan tinggi : ≥ $12.616 
Kualitas kehidupan dapat diartikan sebagai kemakmuran yang akan mendorong antara lain peningkatan konsumsi energi.

Melalui pendekatan dari sisi pengeluaran
peningkatan konsumsi energi per kapita timbul akibat adanya pertumbuhan GDP per kapita. Sementara biaya sosial yang harus ditanggung suatu bangsa akan sangat mahal jika harus menghentikan pertumbuhan yang terjadi.
Tantangan kita ke depan adalah
bagaimana suplai energi tetap tersedia sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah pendapatan per kapita yang lebih baik dan berkelanjutan. Disini tingkat harga energi perlu untuk diperhatikan (lihat Artikel Khusus 01 dan Artikel Khusus 02).
Fokus penulisan ini pada konsumsi energi per kapita dan kesiapan suplai ketenagalistrikan saat ini.

MARI KITA PERHATIKAN KONDISI UMUM INDONESIA

Kondisi PDB per kapita Indonesia menurut World Bank tergolong dalam klasifikasi negara dengan “Lower Middle Income“ 
dengan tingkat konsumsi listrik masih 1.000 kWh/kapita. Sementara negara ASEAN lainnya seperti Malaysia ada di posisi lebih tinggi dengan 4.000 kWh/kapita.
Gambar 1. GDP dan Electric Power Consumption
(keduanya diolah dari World Bank)
Dilihat dari kondisi Index Kesejahteraan Masyarakat (Human Development Index) dengan tiga indikator yaitu:
  • pendidikan, 
  • kesehatan, dan 
  • daya beli masyarakat
Gambar 2. Human Development Index
(sumber: UNDP 2013)
Gambar 2 menunjukkan HDI Indonesia masih berada pada peringkat 121 berada di bawah Thailand dan Malaysia.

SELANJUTNYA, BAGAIMANA SISI SUPLAI KITA?

Kita perhatikan data berikut ini. Adanya ketidakseimbangan antara supply dan demand
  • Penambahan kapasitas pembangkit rata-rata 4% per tahun
  • Beban puncak tumbuh rata-rata 5% pada periode yang sama
Gambar 3. Pertumbuhan Sisi Demand dan Supply Kelistrikan Indonesia
(sumber: Arktikel Khusus 06 - A Year Before AFTA)
Selain itu, kondisi kelistrikan yang terjadi di beberapa daerah pada tahun ini menunjukkan masih sangat rendah kualitas pada suplai energi.
Hal tersebut berpotensi menganggu jalannya roda perekonomian dan menimbulkan berbagai dampak sosial, seperti yang diberitakan oleh Metro TV News dan Antara News.
Menurut laporan The Global Competitiveness Report 2013-2014, Indonesia menempati peringkat 89 untuk kualitas supply listrik.

DEKLARASI MOTIF PENULISAN

Motif penulisan artikel ini adalah 
untuk memahami kondisi pencapaian konsumsi energi per kapita di Indonesia sejak saat ini dan untuk kepentingan pendidikan yang sedang kami jalani.
Dengan demikian diharapkan masih tersedia waktu untuk merumuskan berbagai pemikiran besar dalam rangka meminimalkan risiko dan menunjang kebijakan penyediaan tenaga listrik.

Disini kami sekedar berbagi informasi bahwa ketersediaan energi listrik mempunyai peran yang sangat penting bagi berkelanjutan pertumbuhan ekonomi

BAHAN DISKUSI

  1. Apakah ada sumber-sumber atau referensi lain yang mendukung atau membantah adanya keterkaitan antara pendapatan per kapita dengan konsumsi energi per kapita? 
  2. Untuk meningkatkan energi per kapita suatu bangsa, perencanaan penyediaan tenaga listrik mana yang lebih tepat apakah berdasarkan supply driven atau demand driven? ,berikan alasan dan referensi?
  3. Apa strategi kita di bidang energi khususnya dari sisi suplai ketenagalistrikan?
  4. Jika yang menjadi kendala saat ini adalah pada sisi penyediaan, kira-kira apa permasalahan yang timbul yang mengakibatkan terbatasanya energi di Indonesia?0

KESIMPULAN DISKUSI (per 31 Desember 2013)

  1. Pertumbuhan ekonomi menjadi penting setidaknya untuk menjaga keberhasilan pembangunan yang telah dicapai pada periode sebelumnya. 
  2. Pertumbuhan ekonomi yang sehat akan memberi dampak positif bagi berbagai sektor termasuk sektor energi. 
Walaupun dampak dari hilangnya pertumbuhan ekonomi memberi dampak yang berbeda dari satu negara dengan negara lain, namun jelas penanganannya akan menimbulkan kerumitan tersendiri. 
Tingkat kerumitan meningkat sejalan dengan tingginya rasio hutang luar negeri suatu Negara.
++






















Artikel Khusus 07: RENEWABLE Energy Power Plant CONTRIBUTION In The National ELECTRICITY SYSTEM

The challenge series

oleh: Nurahman, Irham, Syamsudin, Arum

Pendahuluan

Kesepakatan negara – negara ASEAN untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi  dengan menciptakan kawasan perdagangan bebas akan di mulai pada tahun 2015. 

Mengawali persiapan menghadapi perdagangan bebas, kesiapan infrastruktur  menjadi topik penting untuk dibahas.

Better infrastructure brings economic growth

Infrastruktur yang baik pada beberapa bidang seperti:
  • transportasi, 
  • energi listrik, dan 
  • komunikasi 
menciptakan kondisi yang merangsang pertumbuhan ekonomi. 
Investasi yang tepat sasaran pada infrastruktur, mampu mengurangi biaya produksi tdak langsung , dan meningkatkan produktivitas. Selain pengaruh pada economic growth, pembangunan infrastruktur yang baik diharapkan mampu meningkatkan daya saing.
Salah satu infrastruktur yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah energi listrik. 
Pembahasan energi listrik erat kaitannya dengan sumber energi primer yang dimanfaatkan untuk pembangkit. 
Fakta yang ada saat ini sebesar lebih dari 40% total pembangkit listrik di dunia memanfaatkan batubara sebagai sumber pembangkit listrik (sumber: Hitachi).
Ancaman global yang dihadapi ketenagalistrikan adalah gradient pertumbuhan permintaan pasokan energi listrik lebih positif dibandingkan penemuan ketersediaan energi fosil yang bisa dimanfaatkan. 
Isu ini membuka peluang untuk mengembangkan sumber energi baru terbarukan sebagai alternatif.

Bagaimanakah peluang pemanfaatan sumber energi baru terbarukan pada system ketenagalistrikan di Indonesia dalam usaha mewujudkan better infrastructure?

Sebelum menjawab pertanyaan itu mari kita lihat ketersediaan bahan bakar fosil di Indonesia yang yang cenderung menurun dari tahun ke tahun.

Gambar 1. Cadangan Minyak Bumi dan Gas Indonesia
(sumberBadan Geologi Kementerian ESDM) 


Data dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM menunjukkan: 
Cadangan batubara Indonesia sebesar 28 miliar ton atau hanya 3,3% dari cadangan batubara dunia yang mencapai 826 miliar ton. 
Ironisnya pada 1998 produksi batubara Indonesia yang hanya 61.3 juta ton telah meningkat secara spektakuler menjadi 240 juta ton dalam kurun waktu sepuluh tahun.
Menurut Handbook of Energy & Economic Statistic Indonesia 2012, yang disiapkan oleh ESDM, menampilkan total produksi batubara Indonesia mencapai 353 juta ton.
Fakta lainnya. 
Sekitar 78% batubara Indonesia diekspor. 
Tahun 2011, ekspor batubara mencapai 272 juta ton. 
Menurut data Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) mayoritas ekspor ke China dan India, yang mencapai 80 juta ton.
Seperti yang disajikan oleh Key China Energy Statistic 2012, Indonesia menjadi negara pemasok batubara terbesar dengan prosentase 33% dari kebutuhan batubara negara tersebut.

Gambar 2. China's Coal Import
(sumber: Key China Energy Strategy 2012)
Dari total produksi nasional batubara, sebesar 80 juta ton dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri yang didalamnya termasuk untuk pemenuhan kebutuhan pembangkit listrik.
Peraturan Presiden No. 71 tahun 2006 yang direvisi dengan Peraturan Presiden No. 59 tahun 2009. Pemerintah telah menugaskan PT PLN (Persero) untuk membangun pembangkit listrik berbahan bakar batubara sebanyak kurang lebih 10.000 MW untuk memperbaiki fuel mix dan sekaligus juga memenuhi kebutuhan demand listrik di seluruh Indonesia. 
Program ini dikenal sebagai “Proyek Percepatan Pembangkit 10.000 MW”.

Sebagai informasi di bawah ini adalah data pembangkit yang masuk dalam proyek percepatan pembangkit 10.000 MW.

No
Nama Pembangkit
Kapasitas (MW)
COD
1
PLTU 2 di Banten (Labuan)
2x300
2009-2010
2
PLTU 1 di Jabar (Indramayu)
3x330
2011
3
PLTU 1 di Banten (Suralaya Unit 8)
1x625
2011
4
PLTU 3 di Banten (Lontar)
3x315
2011-2012
5
PLTU 2 di Jabar (Pelabuhan Ratu)
3x350
2013
6
PLTU 1 di Jateng (Rembang)
2x315
2011
7
PLTU 2 di Jateng (PLTU Adipala)
1x660
2014
8
PLTU 1 di Jatim (Pacitan)
2x315
2012-2013
9
PLTU 2 di Jatim (Paiton Unit 9)
1x660
2012
10
PLTU 3 di Jatim (Tanjung Awar-awar)
2x350
2013
11
PLTU di Aceh (Meulaboh/Nagan Raya)
2x110
2013
12
PLTU 2 di Sumut (Pangkalan Susu)
2x220
2014
13
PLTU 1 di Riau (Bengkalis)
2x10
Batal
14
PLTU Tenayan di Riau
2x110
2014
15
PLTU di Kepri (Tanjung Balai)
2x7
2012-2013
16
PLTU 4 di Babel (Belitung)
2x16,5
2013
17
PLTU 3 di Babel (Air Anyer)
2x30
2013
18
PLTU 2 di Riau (Selat Panjang)
2x7
Batal
19
PLTU 2 di Kalbar (Pantai Kura-Kura)
2x27,5
2014
20
PLTU di Sumbar (Teluk Sirih)
2x112
2013
21
PLTU di Lampung (Tarahan Baru)
2x100
2012
22
PLTU 1 di Kalbar (Parit Baru)
2x50
2014
23
PLTU di Kaltim (Kariangau)
2x110
2014
24
PLTU 1 di Kalteng (Pulang Pisau)
2x60
2014
25
PLTU di Kalsel (Asam-Asam)
2x65
2013
26
PLTU 2 di Sulut (Amurang)
2x25
2012
27
PLTU di Gorontalo
2x25
2014
28
PLTU di Maluku Utara (Tidore)
2x7
2013
29
PLTU 2 di Papua (Jayapura)
2x10
2013
30
PLTU 1 di Papua (Timika)
2x7
Batal
31
PLTU di Maluku (Ambon)
2x15
2013-2014
32
PLTU di Sultra (Kendari)
2x10
2012
33
PLTU di Sulsel (Barru)
2x50
2012-2013
34
PLTU 2 di NTB (Lombok)
2x25
2013
35
PLTU 1 di NTT (Ende)
2x7
2013
36
PLTU 2 di NTT (Kupang)
2x16,5
2013
37
PLTU 1 di NTB (Bima)
2x10
2014
38
PLTU 1 Sulut
2x25
2014
39
PLTU 2 di Kalteng
2x7
Batal


Sampai dengan September 2012 pembangunan Proyek PerPres 71/2006 yang telah selesai dan beroperasi komersial adalah:
  1. PLTU Labuan (2x300 MW)
  2. Suralaya Unit 8 (625 MW)
  3. Indramayu (3x330 MW)
  4. Lontar(3x315 MW)
  5. Rembang (2x315 MW) 
  6. Paiton Unit 9 (660 MW)
Untuk Indonesia Barat dan Timur belum ada proyek PLTU batubara yang beroperasi komersial per September 2012. 

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana dengan potensi sumber energi baru terbarukan di Indonesia yang bisa dimanfaatkan sebagai sebagai sumber energi listrik.

Beberapa data potensi sumber energi terbarukan yang bisa dirangkum antara lain seperti di bawah ini.


No
Pulau
Jumlah Lokasi
Potensi
Sumber Daya (MWe)
Cadangan (MWe)
Spekulatif
Hipotesis
Terduga
Mungkin
Terbukti
1
Sumatera
90
3.089
2.475
6.849
15
380
2
Jawa
71
1.170
1.826
3.709
658
1.815
3
Bali-Nusa Tenggara
28
360
417
1.013
-
15








4
Kalimantan
12
145
-
-
-
-
5
Sulawesi
65
1.323
119
1.374
150
78
6
Maluku
30
545
97
429
-
-
7
Papua
3
75
-
-

-

 Total
299
7.247
4.886
13.373
823
2.288




SumberBadan Geologi, KESDM. Desember 2012
Beberapa sumber energi terbarukan yang telah dimanfaatkan seperti di bawah ini.

No
Pulau
Total (MWe)
Terpasang (MW)
1
Sumatera
12.760
122
2
Jawa
9.717
1.134
3
Bali-Nusa Tenggara
1.805
5
4
Kalimantan
145
-
5
Sulawesi
3.044
80
6
Maluku
1.071
-
7
Papua
75
-

 Total
28.617
1.341

SumberBadan Geologi, KESDM. Desember 2012

Pemanfaatan potensi geothermal telah diupayakan dengan pembangunan beberapa pembangkit sesuai data yang bisa dirangkum oleh Lakip EBTKE KESDM tahun 2012 di bawah ini

No.
Geothermal Working Area
Location
Power Plant
Installed Capacity (MW)
2010
2011
2012
1
Sibayak – Sinabung
North Sumatera
Sibayak
12
12
12
2
Cibeureum – Parabakti
West Java
Salak
375
377
377
3
Pangalengan
West Java
Wayang Windu
227
227
227
4
Kamojang – Darajat
West Java
Kamojang
200
200
200
5
Kamojang – Darajat
West Java
Darajat
255
270
270
6
Dataran Tinggi Dieng
Central Java
Dieng
60
60
60
7
Lahendong – Tompaso
North Sulawesi
Lahendong
60
80
80
8
Ulubelu
Lampung
Ulubelu
0
0
110
9
Ulumbu
NTT
Ulumbu
0
0
5


Total
1.189
1.226
1.341

Sekjen PBB, Ban Ki-moon menetapkan tahun 2012 yang lalu sebagai Tahun Internasional Energi Terbarukan dengan target 2030 semua orang di dunia sudah menggunakan energi dari sumber – sumber energi terbarukan.

Dari status terkini pemanfaatan energi terbarukan, posisi Indonesia secara global masih jauh dari negara – negara lain yang telah memanfatkan potensi energi baru terbarukan mereka sebagai sumber energi listrik.

Gambar 3. Renewable Electricity Production
(diolah dari data EIA 2012)

Posisi Indonesia, dalam pemanfaatan energi terbarukan untuk gas, biofuels, air, dan Solar berturut – turut 3%, 0.2%, 1.1%, 0.03%, jika dibandingkan dengan keempat negara tersebut.

Faktor Pendukung Pertumbuhan Energi Baru Terbarukan

Selain potensi yang tersedia dari sumber energi terbarukan untuk dimanfaatkan, kebijakan memiliki peran penting bagi pertumbuhan energi baru terbarukan. Seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa negara besar yang disebutkan di atas.
Jerman menyerukan prinsip “Selamat tinggal energi nulkir dan Fosil, selamat datang energi terbarukan.” Bauran energi terbarukan di Jerman tumbuh dari hanya 6 % menjadi 25% dalam waktu sepuluh tahun. Melalui kebijakan Energiewende (Transisi Energi Jerman) pada 2010, Jerman menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 80-95% pada 2050, meningkatkan bauran energi terbarukan hingga 60% dan efisiensi listrik hingga 50% dalam periode yang sama. Kebijakan ini langsung mendapat dukungan legislatif, setahun berikutnya.
China memiliki target untuk menggunakan Energi Terbarukan sebesar 15% dari total energi yang dihasilkan pada 2020, China menginvestasikan dana hingga sebesar $264 juta untuk proyek-proyek energi terbarukan pada 2011, dan berencana untuk mengeluarkan $473 juta lagi untuk investasi energi bersih tersebut hingga 2015. China adalah penghasil listrik tenaga hidro terbesar di dunia, pada tahun 2010 China membangkitkan listrik hingga 714 TWh dari pembangkit listrik hidro nya. Menurut FACTS Global Energy, kapasitas pembangkit dari hydroelectric yang terpasang di China adalah 231 GW pada tahun 2011. China Electricity Council sendiri telah berencana untuk meningkatkan kapasitas pembangkit hidronya menjadi 342 GW pada tahun 2015.

Motif Penulisan

Melalui artikel ini penulis mengajak pembaca untuk sadar dan tahu pentingnya peran infrastructure yang baik dalam hal ini terkait energi listrik sebagai faktor penting untuk pertumbuhan ekonomi terutama dalam meningkatkan daya saing menghadapi perdagangan bebas. 
Peluang yang dilihat disini adalah dengan memanfaatkan potensi sumber energi terbarukan sebagai alternatif. Dengan harapan strategi baru bisa disapkan untuk menjawab isu kesiapan menghadapi perdagangan bebas serta isu lingkungan yang juga sudah menjadi global concern.

Bahan Diskusi

  1. Dari fakta yang ditunjukkan bahwa pertumbuhan pembangkit listrik energi baru terbarukan tidak bertumbuh sepesat pembangkit listrik berbahan bakar fosil terutama batubara, kendala apa yang harus dihadapi dan solusiya? 
  2. Faktor apa yang dapat membantu pertumbuhan listrik EBT di Indonesia? 
  3. Bagaimanakah idealnya posisi kontribusi pembangkit EBT dalam system kelistrikan di Indonesia? 
  4. Dalam waktu dekat trend yang terjadi adalah energy becomes everybody business, dalam hal ini peran serta seperti apa yang bisa dilakukan pelaku bisnis ketengalistrikan seperti IPP? 
  5. Bagaimana meningkatkan peran masyarakat sebagai produsen listrik EBT skala kecil? 

Kesimpulan Diskusi (per 31 Desember 2013)

  1. Pemanfaatan EBT sebagai sumber energi listrik dalam rangka mewujudkan “Better Infrastructure Brings Economic Growth” di Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan potensi yang tersedia.
  2. Dalam diskusi berhasil diidentifikasi sejumlah kendala yang menghambat pertumbuhan EBT diantaranya:
  •  tingkat keekonomian teknologi EBT masih di bawah energi yang bersumber dari fossil, 
  • promosi yang kurang, 
  • kontinuitas penyediaan energi listrik yang dihasilkan akibat kondisi alam. 
Rumusan tersebut di atas tidak bersifat mutlak dan tidak menutup kemungkinan berubah apabila EBT bisa menemukan pasarnya sendiri dan tidak harus bersaing pada pasar yang didominasi oleh mainstream.
++

PEMIKIRAN ANGKATAN BERIKUTNYA (ME-2014)

oleh:
Sinung Dwi Anggraeni, Alex Fernandes, Toni Sukmawan, Niko Lastarda


Investasi di energi baru dan terbarukan saat ini memang tidak menarik.
Walaupun negeri ini diberikan potensi yang besar namun kenyataannya tidak dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh.
Akibatnya ketergantungan kita terhadap energy fosil tidak akan pernah berkurang. 
Dan biaya energy yang terus meningkat akan menurunkan profitabilitas usaha dan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Dan ini serius.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?

BAHAN DISKUSI 2014

  1. Mengapa energi baru dan terbarukan baru sebatas wacana di negeri ini? 
  2. Apakah betul pandangan yang menyebutkan tingkat pengembalian investasi di sumber energi fosil lebih menarik dibandingkan EBT bagi investor besar? Mengapa demikian? 
  3. Bagaimana pandangan Anda jika bertindak sebagai investor kecil (individu di tingkat rumah tangga)? 
  4. Apa kendala terbesar yang dihadapi investor (besar & kecil) saat ini sehingga krisis energi (listrik) bisa terjadi di negeri ini? 
  5. Hal penting apa yang perlu dilakukan para pemangku kepentingan untuk menyelesaikan masalah ini? Siapa saja mereka?
++