.

Senin, 31 Maret 2014

Artikel Khusus 08: Why Importing Energy Is Not A Big Issue For The Developed Countries

The challenge series

oleh: Bagus W. Wahyuntoro & Fajardhani
Impor energi dituding menjadi penyebab terganggunya perekonomian. Posisi “net importer” digadang-gadang menjadi titik lemah perekonomian. 

Namun mengapa 10 developed countries tetap menjadi importir energi terbesar di dunia dan perekonomian mereka lebih baik dari developing countries? 

Jika demikian, lalu apa salahnya menjadi “net importer”?

TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari studi kasus ini adalah sebagai sarana belajar bagi mahasiswa dan membangun awareness di bidang energi dengan memperhatikan dan mengikuti perkembangan yang terjadi untuk kemudian menarik pengetahuan yang berharga dari artikel dan diskusi yang terjadi.

PERAN ENERGI

Energi berperan dalam menyediakan daya yang diperlukan bagi kegiatan produktif untuk menghasilkan nilai tambah dan konsumsi, yang mana kombinasi keduanya akan menggerakkan roda perekonomian.
Kekurangan energi dapat mengganggu perekonomian.

NERACA PERDAGANGAN

Neraca perdagangan suatu negara menyajikan keseimbangan nilai ekspor dan impor suatu Negara pada periode tertentu. 

Gambar 1. Neraca Perdagangan Indonesia 10 Tahun Terakhir
(Sumber: BPS yang diolah oleh Kementerian Perdagangan RI)
Apabila nilai impor melebihi ekspor akan menyebabkan neraca perdagangan menjadi negatif (arus kas negatif).
Berikut ini neraca perdagangan untuk sektor Migas.

Gambar 2. Neraca Perdagangan Sektor Migas
(Sumber: BPS yang diolah oleh Kementerian Perdagangan RI)
Berikut adalah neraca perdagangan untuk sektor Non-Migas

Gambar 3. Neraca Perdagangan Sektor Non-Migas
(Sumber: BPS yang diolah oleh Kementerian Perdagangan RI)
Ekspor bahan mentah termasuk natural resources dan commodities (low value goods) menjadi handalan devisa dan penggerak perekonomian bagi negara-negara berkembang (developing countries) atau terbelakang (under developed countries). 
Apabila perkonomian tumbuh, konsumsi akan meningkat dan merubah gaya hidup masyarakat .
Jika kebutuhan tidak dapat dipenuhi oleh kegiatan produksi dalam negeri maka nilai impor pasti meningkat. Peningkatan impor dapat tumbuh dengan sangat tinggi.
Pada suatu titik akan timbul masalah, nilai ekspor tidak lagi dapat mengimbangi nilai impor akibat berbagai hal. Diantara penyebabnya adalah menurunnya harga komoditi, habisnya cadangan, terganggunya kegiatan produksi, dan tidak adanya nilai tambah bagi barang komoditi yang diekspor.
Gambar 4. Ilustrsi Pertumbuhan  Impor Melebilihi Ekspor
Pada umumnya negara-negara berkembang terlambat merespon semua ini. 
Dampaknya banyak dijelaskan dalam berbagai tulisan dengan topik the curse of natural resources
Apakah neraca perdagangan menjadi satu-satunya indikator? Coba perhatikan negara perdagangan negara Amerika Serikat selama beberapa dekade terakhir ini.

Gambar 5. Neraca Perdagangan AS
(Sumber: tradingeconomics.com)

KONSUMSI ENERGI

Konsumsi energi per kapita memberi gambaran tentang tingkat kemakmuran suatu bangsa (lihat Artikel Khusus #01). 

Berikut terlihat negara-negara dengan konsumsi per kapita terbesar di dunia.

Gambar 6. Konsumsi energi per kapita negara-negara di dunia
(Sumber: BP Statistical Review of World Energy, 2009)
Energi yang dikonsumsi sepertinya tidak mempermasalahkan dari mana energi itu diperoleh, apakah produksi dalam negeri atau berasal dari impor.

Gambar 7. Volume impor energi negara-negara di dunia
(Sumber: Enerdata)
Mari kita bandingkan konsumsi energi per kapita Indonesia dengan konsumsi energi per kapita negara-negara pengimpor energi terbesar di dunia tersebut.
Gambar 8. Konsumsi energi per kapita Indonesia dan negara-negara importir energi terbesar di dunia
Terlihat jelas bahwa konsumsi energi per kapita Indonesia jauh di bawah negara-negara maju tersebut..

TINGKAT KESEJAHTERAAN

Mari kita lihat GDP negara-negara pengimpor energi terbesar di dunia tersebut dari tahun ke tahun.
GDP (Gross Domestic Product) merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan tingkat kemajuan ekonomi suatu negara.
Gambar 9. GDP (dalam trilyun dollar) negara-negara importir energi terbesar di dunia
(diolah dari data GDP tercatat di World Bank hingga tahun 2013)
Apabila ada ukuran konsumsi energi per kapita maka ada juga ukuran dengan menggunakan GDP per kapita. 
Bagaimana posisi GDP per kapita Indonesia bila dibandingkan dengan GDP per kapita negara-negara pengimpor energi terbesar di dunia?
Gambar 10. GDP per kapita Indonesia dan negara-negara importir energi terbesar di dunia
(diolah dari data GDP per kapita yang tercatat di World Bank)
Selain itu, statistik Human Development Index (HDI), yang merupakan ukuran lain yang dipakai untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu negara, memperlihatkan negara-negara pengimpor energi yang besar memiliki HDI yang lebih tinggi.

Gambar 11. Human Development Index (HDI) Indonesia Di Tengah Negara-Negara Importir Energi Besar Dunia
(Sumber: UNDP, 2013)

SIMPULAN SEMENTARA

Jelas bahwa ketersediaan energi sangat penting bagi kemajuan suatu negara dan bagaimana energi tersebut diperoleh terlihat indifferent disini. 
Walau termasuk dalam 10 negara pengimpor energi terbesar, negara-negara tersebut justru memiliki GDP yang tinggi (walau pertumbuhannya bisa relatif rendah saat ini).
Negara-negara tersebut terlihat berupaya mempertahankan tingkat harga energi di level tertentu untuk menjaga keunggulan yang diperlukan dalam persaingan (lihat Artikel Khusus #01).

Gambar 12. Harga energi listrik untuk industri negara-negara maju
(diolah dari 2012 Key World Energy Statistics, IEA)
Mereka mungkin menyadari bahwa ketahanan energi tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan (availability) namun juga ditentukan oleh:
  • tingkat harga (price level) yang dapat diterima oleh industri dan masyarakat (affordability). 
Volume energi yang diimpor oleh negara-negara maju berada jauh di atas Indonesia.

BAHAN DISKUSI

Pada akhirnya, kita dihadapkan pada serangkaian pertanyaan berikut.
  1. Apakah posisi sebagai "net importer" menjadi satu-satunya penyebab yang mengganggu neraca perdagangan luar negeri kita berikut dampak turunannya? Mengapa mereka tidak?
  2. Apakah membatasi penggunaan energi dalam negeri, misalnya dengan membatasi impor atau mencabut subsidi, membawa dampak baik bagi negara untuk jangka panjang?
  3. Sepertinya diperlukan suatu perbaikan untuk mengatasi hal ini. Apa usulannya? 
Mari bersama-sama kita diskusikan.

Catatan:

  1. Diskusi akademis ini dibuka hingga waktu penutupan kuliah pada bulan Juni 2014.
  2. Diskusi dapat berupa pernyataan yang mendukung atau membantah berupa uraian yang logis dengan informasi pendukung berikut sumbernya. Dapat juga berupa pertanyaan yang relevan. Sebisa mungkin opini tanpa dasar teori yang kuat dan data dihindari.
  3. Pada akhir sesi diskusi akan disusun suatu kesimpulan – yang dapat mendukung atau membantah ide utama artikel ini. 
++++

Artikel Terkait

37 komentar:

  1. Q1/2014
    Apakah posisi sebagai "net importer" menjadi satu-satunya penyebab yang mengganggu neraca perdagangan luar negeri kita berikut dampak turunannya? Mengapa mereka tidak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hal lain yang berkaitan adalah nilai tukar mata uang negara tersebut. Akan tetapi, untuk memastikan hubungan antara neraca perdagangan dengan nilai tukar ini harus dilakukan penghitungan dan analisis elastisitas permintaan impor dan ekspor pada berbagai produk yang diimpor dan diekspor oleh negara tersebut. Hal ini karena adanya Marshall-Lerner condition, di mana penjumlahan elastisitas permintaan impor dan elastisitas permintaan ekspor harus lebih besar dari satu jika ingin neraca perdagangan membaik ketika terjadi depresiasi mata uang pada suatu negara.

      Sumber: Rose, Andrew K. (1991), "The role of exchange rates in a popular model of international trade: Does the ‘Marshall–Lerner’ condition hold?", Journal of International Economics 30 (3–4): 301–316.

      Hapus
    2. Apabila dicermati, memang negara-negara maju yang merupakan net importer justru memiliki GDP yang tinggi, sementara Indonesia tidak mengalami hal yang sama. Kuncinya adalah elastisitas konsumsi energi. Di negara-negara maju tersebut, sumber energi yang diimpor digunakan untuk kegiatan produktif yang menghasilkan GDP, sedangkan di Indonesia BBM yang diimpor, sebagian hanya menguap karena kemacetan. Studi mengenai hal ini sudah banyak dilakukan diantaranya klik disini. atau klik disini.

      Hapus
    3. Mengutip pernyataan Pak Dahlan Iskan dalam tulisannya yang berjudul Energi untuk Negeri (http://www.dahlaniskan.net/energi-untuk-negeri/):
      “Impor BBM kita bukan saja luar biasa besar, tapi juga sudah mulai mengganggu perekonomian nasional kita. Sudah sampai mengganggu neraca perdagangan yang menjadi salah satu penyebab terjadinya gejolak ekonomi sekarang ini.”

      Benar bahwa menjadi net importer adalah penyebab utama terganggunya neraca perdagangan luar negeri sebuah negara. Selain itu, saya setuju dengan yang disampaikan oleh Mas Bagus bahwa penyebab lainnya adalah nilai tukar mata uang dengan negara terkait, namun untuk diketahui seberapa besar keterkaitannya harus dilakukan analisis elastisitas ekpor – impor terlebih dahulu.

      Nilai impor yang lebih besar daripada nilai ekspor akan mengakibatkan neraca perdangan menjadi negatif. Artinya neraca perdagangan terganggu. Hal ini berlaku untuk semua negara, baik developing countries maupun developed countries (seperti contoh yang diberikan pada artikel di atas: neraca perdagangan Amerika yang selalu negatif sejak tahun 1992 hingga tahun 2012). Namun, dengan terganggunya neraca perdagangan, tidak dapat dikatakan bahwa negara tersebut memiliki pertumbuhan ekonomi atau tingkat kesejahteraan yang tidak baik karena masih ada parameter-parameter lain yang harus dipertimbangkan (telah dituliskan juga dalam artikel di atas). Sehingga kurang tepat apabila dikatakan bahwa posisi “net importer” tidak mengganggu neraca perdagangan luar negeri (developed countries) dan dampak-dampak turunannya.

      Mohon feedback dari teman-teman yang lain.

      Chairy, ME’13

      Hapus
    4. Ingin menambahkan komentar dari Pak Bagus. Selain nilai tukar mata uang, faktor lain yang mempengaruhi neraca perdagangan luar negri kita adalah laju pertumbuhan utang luar negri, laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi domestik dan luar negri. Dengan mengetahui hubungan dan pengaruh faktor-faktor penentu tersebut maka dapat diambil langkah-langkah atau kebijakan untuk mencapai keseimbangan.

      Hapus
    5. Saya sedikit berbeda pendapat dengan mas felix.Pada neraca perdagangan Indonesia, baik trend eksport maupun import memiliki kecenderungan yang menurun walaupun kecenderungan penurunan trend eksport lebih tinggi daripada import. Kondisi inilah sebagai penyebab neraca perdagangan Indonesia bernilai negatif (defisit) pada tahun 2013. Pada paparan artikel di atas, import BBM adala pada kisaran 22% dari total import Indonesia, sementara eksport terbesar adalah pada sektor non-migas 82%. Dari rasio import/eksport anatara energi dan non-energi, terlihat bahwasanya penyebab dari defisit neraca perdagangan sebenarnya bukan dikarenakan oleh tingginya import sektor energi tetapi lebih karena menurunnya eksport non-energi. Apakah penurunan ini karena konsumsi energi kita kebanyakan untuk konsumtif dibanding produktif? Coba kita lihat data-data berikut. Kalau kita bandingkan rasio pemakaian energi per-sektor antara Indonesia dan Amerika, pada tahun 2011, komposisi pemakaian energi di Amerika Serikat persektor adalah : Transportasi 28%, Industri 22%, Residensial dan Komersial 10%, Listrik 40% (sumber : www.eia.gov/totalenergy/data/monthly/pdf/flow/primary_energy.pdf). Sementara untuk Indonesia berdasar data dari Outlook Energi Indonesia 2011 : Industri 40%, Rumah Tangga 35%, Transportasi 20%, Lainnya 5%. (sumber : http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/112479-%5B_Konten_%5D-Konten%20C7498.pdf ). Prosentase pemakaian energi pada sektor Industri di Indonesia cukup besar (40%). Ini menandakan bahwa prosentasi pemakaian energi terbesar adalah pada sektor produksi bukan konsumtif. Tetapi apakah hasil produksi tersebut memiliki nilai ekonomi rendah sehingga tidak dapat mendongkrak eksport?

      Hapus
    6. saya sependapat dengan pak felix,
      Negara yang “net importer”, apabila sumber energi impor tersebut digunakan untuk kegiatan produktif dalam pembentukan modal tetap atau sebagai penggerak sektor riil akan dapat memberikan nilai tambah, namun untuk kondisi tahun 2013 sesuai data BPS bahwa PDB sebesar Rp 9.084 triliun sebagian besar digunakan untuk pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar Rp 5.071,1 triliun. Komponen pengeluaran lainnya meliputi komponen pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar Rp 827,2 triliun, komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto atau komponen investasi fisik sebesar Rp 2.876,3 triliun, Komponen Perubahan Inventori sebesar Rp179,8 triliun, selain itu transaksi Ekspor lebih kecil dari impor, dimana ekspor sebesar Rp 2.156,8 triliun dan Impor sebesar Rp. 2.338,1 triliun.

      ilham b. ME'13

      Hapus
    7. Saya sependapat dengan mba Chairy bahwa kurang tepat apabila dikatakan bahwa posisi “net importer” tidak mengganggu neraca perdagangan luar negeri (developed countries) dan dampak-dampak turunannya.

      Seperti dijelaskan pak Bagus pada artikel di atas, bahwa neraca perdaganan luar negeri ditentukan oleh 2 variabel yaitu neraca export/import migas dan neraca export/import non migas. Atinya apabila neraca perdagangan migas suatu Negara defisit dan tidak dimbangi dengan neraca perdagangan non migasnya yang lebih surplus, tentunya neraca perdagangan luar negerinya akan terganggu.

      Sesuai data BPS, secara akumulatif neraca perdagangan Januari-November 2013 masih mengalami defisit 5,6 miliar dolar AS. Rinciannya, neraca perdagangan migas defisit 11,837 miliar dolar AS dan neraca perdagangan nonmigas surplus 3,3672 miliar dolar AS. Neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2014 tercatat dalam posisi defisit sebesar 0,43 miliar dolar AS. Kinerja neraca perdagangan tersebut dipengaruhi oleh surplus neraca perdagangan nonmigas yang menurun dan defisit neraca perdagangan migas yang meningkat.

      Berdasarkan komoditas, defisit neraca perdagangan Indonesia terutama dipengaruhi penyusutan pertumbuhan ekspor komoditas nonmigas utama yang berbasis sumber daya alam, sedangkan ekspor manufaktur masih dalam tren meningkat. Ekspor batubara dan minyak nabati (pangsa 26,7 persen dari total ekspor nonmigas) mengalami penurunan antara lain sesuai pola musiman. Sementara itu ekspor produk manufaktur sebagian tetap menunjukkan kinerja positif, seperti mesin/pesawat mekanik meningkat 31,92 %, produk kimia 1,43%, pakaian jadi dan barang-barang rajutan 3.41%.

      Jadi neraca perdagangan luar negeri suatu Negara, bisa terganggu / tidak terganggu pada posisi “net importer” tergantung apakah neraca perdagangan non migasnya apakah surplus atau defisit.


      Samuel ME2013

      Hapus
    8. Indonesia sudah bukan lagi negara pengekspor minyak, namun Indonesia masih terjebak dalam siklus dimana minyak mendominasi ekonomi di berbagai dimensi. hal ini dapat terlihat dalam komponen APBN yang menyertakan harga minyak mentah, produksi minyak dan gas sebagai penetu utama dalam perumusan APBN. Kebijakan energi memiliki dampak langsung bagi makro ekonomi di Indonesia, termasuk aspek inflasi, tingkat upah, lapangan kerja, neraca perdagangan dan APBN. seperti contoh kenaikan harga bahan bakar minyak baru-baru ini mengakibatkan kenaikan harga umum relatif singkat.

      Hapus
    9. Melanjuti pernyataan Pak Herry, mari kita kaji bersama mengenai artikel menarik mengenai "Indonesia Pengimpor Minyak terbebsar Dunia: Cadangan Migas justru jadi beban APBN". Dari Artikel ini menjelaskan bagaimana pendapatan migas merupakan komponen terpenting dalam penerimaan negara. Kegiatan Impor yang melebihi kapasitas ekspor telah merusak fundamental fiskal negara Indonesia. Hal hal seperti ini perlu kita tinjau lebih jauh karena cadangan minyak di Indonesia cukup besar untuk negara, tapi mengapa sekarang justru menjadi beban APBN?

      Yuk, mari sama-sama baca.
      http://www.tribunnews.com/nasional/2014/11/21/indonesia-pengimpor-minyak-terbesar-di-dunia-cadangan-migas-justru-jadi-beban-apbn

      Salam,

      Wiliam

      Hapus
    10. Ya..pernyataan dari Pak Herry sangat menarik kita kaji dan sumber dari pak William sangat bagus kita diskusikan..Memang di APBN kita selalu ditentukan terget lifting, nilai kurs rupiah terhadap Dollar AS, Harga minyak dunia (crude oil/ICP). Nah kemanpuan fiskal APBN kita akan menurun jika realisasi lifting rendah, harga minyak mentah (crude oil/ICP) naik, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika. Hal ini lah yang jadi masalah di APBN kita..kenapa ketiga komponen itu ditentukan diawal. Untuk cadangan minyak di Indonesia, saya kira tidak menjadi komponen penentu utama di APBN, tetapi mungkin masalahnya disini adalah cadangan minyak kita belum terexploitasi dengan maksimal untuk mencapai target lifting kita, sementara sejumlah pemegang kontrak migas mendulang keuntungan yang tidak terhingga jumlahnya sebagai hasil memperjualbelikan cadangan minyak dan gas yang mereka miliki melalui pasar saham

      Hapus
  2. Q2/2014
    Apakah membatasi penggunaan energi dalam negeri, misalnya dengan membatasi impor atau mencabut subsidi, membawa dampak baik bagi negara untuk jangka panjang?
    Mengapa demikian?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya coba menanggapi pertanyaan kedua, saya pikir ada benarnya apabila kebijakan tersbut harus diambil oleh pemerintah, meningktnya beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) belakangan ini membuat pemerintah berupaya menekan subsidi melalui penggunaan energi alternatif, terutama gas. Indonesia sebenarnya memiliki cukup banyak berbagai jenis sumber energi yang di dapat manfaatkan. Pemanfaatan berbagai jenis sumber energi ini tidak hanya untuk memenuhi permintaan energi dalam negeri, tetapi juga untuk antisipasi peluang usaha ke pasar internasional. Khususnya peluang usaha energi jenis gas semakin menarik karena adanya perencanaan bauran energi (Energy Mix) yang telah ditetapkan oleh pemerintah, menjadikan pemerintah energi jenis ini akan semakin meningkat. Indonesia sendiri memiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam industri gas seperti PT (Persero) Perusahaan Gas Negara.
      Dalam rencana pembangunan jangka menengah Indonesia 2009-20014, Pemerintah Indonesia sudah merencanakan pengolahan CBM menjadi LNG. Kebijakan ini diarahkan untuk menunjang kebutuhan energi industri, menggantikan energi minyak. Pasar energi dosmestik mengkuti pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan eknomi sendiri diperkirkan ekspansif sampai 2014. Dari sisi permintaan, konsumsi energi paling besar di sektor industri (41,49%) dan transportasi (932,52%), sementara sektor rumah tangga 16,26% dan komersial hanya sebesar 4,49%. Proyeksi kedepan, pertumbuhan konsumsi energi final mencapai 4% sampai 2014, dan 5,3% samapi tahun 2030 sebagaimana disampaikan dalam energy outlook BPPT 2011.

      Sumber : LM FE-UI

      Hapus
    2. Yang perlu dilakukan adalah membatasi atau menghilangkan subsidi, karena apabila impor BBM digunakan untuk kegiatan produktif atau mengimpor minyak mentah kemudian mengeskpor dalam bentuk BBM seperti halnya Singapura justru akan mendapatkan keuntungan/GDP. Subsidi energi jelas merupakan candu yang meninabobokan rakyat. Dugaan bahwa subsidi energi banyak dinikmati orang mampu sudah banyak buktinya, contoh sederhana taxi mobil mewah sekalipun tetap saja antri premium. Sektor industri juga banyak memanfaatkan subsidi dan memperoleh competitiveness semu, karena sebagian ditanggung negara. Mengutip pendapat ekonom berikut Secara sistematis, ke depannya harga BBM harus didekatkan ke harga keekonomiannya.

      Hapus
    3. Mengenai subsidi, saya sependapat dengan pernyataan-pernyataan di atas. Penempatan subsidi sudah seharusnya tidak melekat pada harga produk tersebut melainkan diberikan kepada yang membutuhkan.

      Hapus
    4. Mengingat pentingnya peran BBM dalam kehidupan masyarakat maka pemerintah melakukan campur tangan dalam penentuan harga dan sekaligus menjamin ketersediaannya di pasar domestik. Kebijakan pemerintah tersebut dilakukan dengan cara memberikan subsidi harga untuk menekan harga BBM agar terjangkau oleh masyarakat luas dan sekaligus menjaga stabilitas harga.
      Banyak argumen menyatakan bahwa defisit neraca perdagangan disebabkan karena terjadi defisit di sektor BBM yang semakin besar, yang dipicu oleh meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri, yang disebabkan karena harga BBM yang sangat murah akibat disubsidi. Oleh karena itu, salah satu solusi yang diwacanakan untuk mengatasi permasalahan defisit neraca perdagangan ini adalah menaikkan harga BBM bersubsidi sehingga dapat meredam konsumsi BBM dan dapat menurunkan impor BBM, sehingga pada akhirnya dapat mengurangi defisit neraca perdagangan BBM dan nasional. Apakah benar demikian?
      Saya melihat BBM adalah barang yang masuk dalam kategori price inelastic. Artinya, perubahan harga BBM tidak mempengaruhi permintaan terhadap BBM. Harga BBM naik, permintaan tidak serta merta turun: semua kendaraan dan alat produksi harus tetap berjalan, berapa pun harga BBM-nya. Terlebih di Negara kita yang sistem transportasinya masih belum memadai.
      Berdasarkan historis harga BBM bersubsidi telah naik beberapa kali tetapi tidak dapat meredam permintaan konsumsi BBM nasional.
      Demi kemajuan suatu bangsa harga energi haruslah tetap terjangkau masyarakatnya, ada dua cara untuk mengatasi permasalahan ini. Pertama, meningkatkan produksi minyak dalam negeri sehingga mengurangi impor BBM. dan kedua, memindahkan subsidi dari yang sebelumnya melekat pada harga BBM menjadi ke bantuan yang langsung menyentuh masyarakat yang kurang mampu, jadi subsidi bukan dihilangkan.

      Hapus
    5. Saya sepakat dengan pendapat Mas Dedi dan Pak Felix. Sedikit menambahkan:

      Pembatasan impor energi yang diikuti oleh usaha-usaha pengembangan-pemanfaatan energi jenis lain untuk dimanfaatkan (termasuk energi alternatif), akan membawa dampak baik bagi negara untuk jangka panjang.

      Sedangkan mencabut subsidi energi (BBM dan listrik) mungkin bukan merupakan pilihan yang tepat untuk keadaan negara saat ini dimana ada sekitar 11.37% masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan (sumber: BPS, data 2013). Akan lebih baik jika dilakukan pengurangan subsidi sampai kemampuan beli masyarakat tercapai (KEN-2050) dan subsidi energi diberikan kepada masyarakat yang terdaftar sebagai masyarakat tidak mampu bukan dalam bentuk pengurangan harga energi secara umum (yang bisa dinikmati oleh masyarakat yang sebenarnya mampu secara ekonomi), melainkan berupa dana subsidi energi yang diberikan secara langsung. Sehingga seluruh masyarakat (secara personal) membeli energi dengan harga yang sama.

      Pengurangan subsidi hingga harga optimumnya akan lebih baik jika dibarengi dengan penerapan insentif bagi pengembang-pengembang sumber energi terbarukan dan implementasi kebijakan / program-program terkait Energi Terbarukan sesuai KEN-2050, antara lain:
      1. Feed in Tarif
      2. Penyempurnaan pengelolaan energi panas bumi melalui pembagian resiko antara pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dan pengembang.
      3. Perhitungan harga energi terbarukan dengan asumsi untuk bersaing dengan harga BBM yang berlaku disuatu wilayah, yang dihitung dengan tidak memasukan subsidi BBM.
      4. Pemerintah mengatur pasar energi terbarukan, termasuk kuota minimum tenaga listrik, bahan bakar cair dan gas yang bersumber dari energi baru dan terbarukan.
      Insentif dan program-program di atas harus diimplementasikan untuk merangsang masyarakat agar lebih memanfaatkan energi alternatif dan atau terbarukan disamping pemanfaatan energi fosil, terutama minyak bumi sehingga ke depannya akan membawa dampak yang positif bagi negara.

      Referensi:
      Dalimi, Rinaldi. Materi Kuliah: Pembangunan Energi Nasional dalam KEN-2050.
      Penjelasan dan diskusi dalam kuliah Manajemen dan Ekonomi Energi, Manajemen Energi 2013.

      Chairy, ME'13

      Hapus
    6. Memang upaya mengurangi belanja subsidi energi dengan menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi dapat bermanfaat dalam jangka panjang karena akan menurunkan beban fiskal.
      Namun belanja subsidi energi yang lebih tinggi dari belanja modal menyebabkan pemerintah harus meningkatkan penerimaan dari sektor pajak. Kondisi tersebut sangat merugikan iklim investasi secara keseluruhan karena membuat pemerintah mencari sumber pendapatan pajak baru biasanya dikenakan kepada investor swasta.
      Belanja subsidi energi yang tinggi tersebut, menyebabkan pemerintah maupun investor swasta tidak memiliki kesempatan untuk membangun infrastruktur, yang bermanfaat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

      Hapus
    7. Alokasi anngaran subsidi BBM dari Pemerintah dari tahun ke tahun semakin meningkat, seperti : tahun 2010 (Rp. 82,3 T), 2011 (Rp. 165,2 T), 2012 (Rp. 193,8 T), 2013 (Rp. 193,8 T), dan 2014 (194,9 T). di samping itu setiap tahun terjadi over kuota BBM subsidi diakibatkan konsumsi BBM subsidi yang terus meningkat membuat kondisi keuangan negara ikut berpengaruh. Jika hal ini dibiarkan, tentu akan berdampak negatif pada seluruh sendi kehidupan bangsa.

      Seperti disampaikan pak Felix, subsidi BBM di Indonesia memang ibarat candu. Betul juga karena ketergantungan masyarakat pada bantuan pemerintah menjadi kenikmatan yang tak bisa dihilangkan begitu saja. Ironisnya, menurut hasil kajian Uka Wikarya, pengajar dan peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, 93% BBM subsidi dinikmati masyarakat menengah atas. Dalam kajiannya Uka mendapatkan data bahwa 60 persen dari total rumah tangga di Indonesia menjadi pengguna BBM subsidi. Dari keseluruhan rumah tangga yang menggunakan BBM subsidi hanya 6,5 -6,7 % saja yang berasal dari rumah tangga kelas bawah, sisanya berasal dari masyarakat menengah atas.

      Oleh karena subsidi BBM tidak kena sasaran, maka sebaiknya pemerintah kembali menaikkan harga BBM bersubsidi atau mencabut seluruh subsidi dan menjadikan harga BBM sesuai harga keekonomian, dan mengalihkan anggaran subsidi digunakan untuk hal-hal yang langsung dirasakan rakyat, misalnya dibagikan langsung kepada masyarakat (BLT) yang berhak menerima. Itu jauh lebih bermanfaat ketimbang digunakaan untuk barang. Subsidi barang cenderung tidak objektif. Pada akhirnya, pembagian subsidi kembali tidak tepat sasaran. Atau anggaran subsidi digunakan untuk :

      1. Membangun jaringan pipa gas dan listrik yang saat ini sangat dibutuhkan masyarakat.
      2. Program-program pengurangan konsumsi BBM, seperti untuk keperluan energi baru terbarukan (EBT).
      3. Belanja produktif, seperti infrastruktur, pendidikan, iklim investasi, dan sebagainya. Dengan demikian belanja yang dikeluarkan tidak akan membebani fiskal dan akan semakin mampu meningkatkan daya saing Indonesia.

      Samuel ME 2013

      Hapus
    8. Subsidi untuk kelompok masyarakat tidak mampu tidak bisa dicabut karena merupakan amanat UU, yang perlu dilakukan adalah bagaimana agar pemberian subsidi tersebut tepat sasaran. Untuk subsidi listrik, pola subsidi direncanakan akan dirubah yaitu beli pulsa listrik dapat bonus daya listrik dengan nominal tertentu untuk pengguna/konsumen golongan listrik 450 Volt Ampere (VA) dan 900 VA. Pemberian voucher ini merupakan edukasi, bahwa biaya energi tidaklah murah dan rakyat telah dibantu, dengan harapan kerja akan semakin giat sehingga kedepannya mereka tidak perlu dibantu negara lagi. Untuk subsidi BBM, pengendalian yang dilakukan saat ini dengan pemasangan alat Radio Frequency Identification (RFID) namun belum terlihat hasilnya. Apabila subsidi listrik dan BBM dapat dikendalikan, maka impor BBM dapat dikurangi dan hasil dari penghematan subsidi listrik dan BBM dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dalam menunjang pembangunan ekonomi yang lebih inklusif.

      Ilham B

      Hapus
    9. Pembatasan penggunaan energi tidaklah baik untuk jangka panjang. Berdasarkan dari paper “The relationship between energy consumption, energy prices and economic growth: Time series evidence from Asian developing countries” dari Department of Economics, The University of Queensland, Kondisi Indonesia memperlihatkan hubungan sebab akibat (unidirectional) dari konsumsi energi menjadi pertumbuhan ekonomi sama seperti negara di India. Apabila kita membatasi penggunaan energi hal ini akan membatasi pula pertumbuhan ekonomi kita. Penggunaan energi yang meningkat akan mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

      Mari kita sama-sama melihat Paper ini.
      http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/123754/2/Asafu.pdf

      Untuk melihat bagaimana hubungan antara penggunaan energi dan pertumbuhan ekonomi.

      Salam,
      William Maha Putra

      Hapus
    10. Subsidi energi di Indonesia menunjukkan beban fiskal, secara rata-rata pembayaran yang dialokasikan untuk subsidi untuk sektor yang bersifat konsumtif telah mencapai 3,1% dari PDB per tahun semenjak tahun fiskal 2010 (sumber disini . suatu biaya yang menyebabkan instabilitas makroekonomi yang berulang dan cenderung mengganggu pembangunan.meskipun dipandang sebagai bagian dari bantuan sosial sesuai dengan amanah Undang-undang, sebagian besar subsidi energi justru menguntungkan kelompok masyarakat yang berpendapatan tinggi. pada saat yang bersamaan mendorong konsumsi energi yang sia-sia dan penyelundupan bahan bakar ke luar negeri. oleh sebab itu, alokasi pemberian subsidi harus tepat sasaran, yaitu pemanfaatan subsidi yang berorientasi pada kegiatan produksi.

      Hapus
    11. Dari artikel di atas dan rumus GDP di Artikel Khusus 02: The ENERGI PRICE and The ECONOMIC GROWTH RELATIONSHIP, bahwa hubungan antara penggunaan energi dan tingkat kesejahteraan saling berkaitan dan sebanding, dengan catatan energi yang digunakan untuk sektor produktif lebih besar dari sektor konsumtif.
      Jika import dibatasi, maka pertumbuhan ekonomi dari sektor produksi juga terbatas. Hal ini juga mempengaruhi GDP aatau tingkat kesejahteraan suatu negara.
      Begitu pula dengan pencabutan subsidi, dengan catatan subsidi digunakan untuk sektor produktif, akan membebani biaya investasi dan operasional di sektor investasi dan produksi. yang berimbas juga ke GDP dari suatu negara.

      Terima kasih

      Salam,
      Arief RD ME 14

      Hapus
  3. Q3/2014
    Sepertinya diperlukan suatu perbaikan untuk mengatasi hal ini. Apa usulannya dan apa tujuannya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Developed countries secara alamiah umumnya net importer energy, sehingga mereka terbiasa dengan kondisi tersebut dan berusaha menjaga kesetimbangan neraca perdagangan mereka. Apabila terjadi shock pada kondisi domestik mereka yang dapat memicu meningkatnya impor energi, maka akan segera dibalancing dengan kebijakan lainnya.

      Sementara itu, kondisi tersebut berbeda dengan negara kita yang pada awalnya dikenal sebagai salah satu exporter energy country. Ada titik balik yang mengubah kondisi keenergian di Indonesia. Pertama, pada tahun 2008 Indonesia keluar dari OPEC karena sejak 2004 negara total impor minyak bumi beserta turunannya telah melebihi angka ekspor, menjadikan negara kita sudah beralih menjadi net importer. Dan ini berimplikasi pada turunnya angka ekspor dan meningkatnya nilai impor secara signifikan, padahal sebelumnya ekspor sektor migas menjadi handalan APBN.
      Kedua, tren subsidi energi, khususnya BBM yang melonjak beberapa tahun belakangan, mencapai angka lebih dari 20 persen APBN akibat terjebaknya kita pada kebijakan subsidi BBM yang melekat pada harga energi tersebut. Padahal, idealnya subsidi dijaga pada level dibawah 10 persen.
      Kedua hal tersebut sebagai pemicu utama rentannya keuangan negara kita. Karena, dalam pendapatan nasional, sesuai pendekatan pengeluaran (aggreagate expenditure), titik lemah neraca perdagangan kita ditentukan dari keseimbangan ekspor-impor dan goverment spending (subsidi), disamping faktor lain juga menentukan (investasi dan konsumsi nasional).

      Oleh karena itu, pentingnya segera dilakukan perubahan kebijakan, antara lain yang baru-baru ini telah dilakukan yaitu mengurangi subsidi energi dengan menaikkan harga BBM dan tarif listrik.

      Diolah dari berbagai sumber

      Hapus
  4. Minyak bumi dan gas alam yang diperoleh dari dalam bumi bukan produk akhir yang langsung dapat digunakan sebagai bahan bakar, tetapi harus melalui pengolahan terlebih dahulu. Minyak bumi harus diolah di kilang minyak, untuk diproses menjadi produk BBM. Begitu pula gas alam yang harus dilakukan “treatment” atau diolah menjadi LNG, CNG, dsb.

    Tidak seluruh produksi minyak bumi Indonesia dapat diolah di kilang minyak dalam negeri, karena desain kilang minyak di Indonesia sebagian tidak cocok dengan spesifikasi minyak mentah Indonesia sehingga sebagian produksi minyak bumi Indonesia di-ekspor. Impor dilakukan untuk kekurangan pasokan minyak bumi untuk diolah di kilang minyak di Indonesia.

    Saat ini kebutuhan BBM dalam negeri mencapai 1,4 juta barel per hari. Kapasitas kilang minyak di Indonesia hanya mencapai sekitar 1 juta barel per hari. Sehingga masih dibutuhkan impor BBM untuk menutupi kekurangan kebutuhan tersebut.

    Dari penjelasan tersebut, ada dua impor yang dilakukan, yakni impor minyak bumi yang sesuai spesifikasi kilang (untuk menaikkan utilisasi kilang minyak di Indonesia) dan impor BBM (untuk mencukupi kebutuhan BBM dalam negeri). Sehingga pembangunan kilang minyak relevan untuk mengurangi impor, namun harus sesuai dengan spesifikasi minyak mentah Indonesia dan kecenderungannya.

    Walau demikian, seandainya kapasitas kilang minyak di Indonesia melebihi kebutuhan BBM dalam negeri, pemerintah tetap harus melakukan impor minyak mentah, hal ini karena produksi (lifting) minyak bumi di Indonesia saat ini hanya mencapai angka 800an ribu barel per hari, dan kecenderungannya menurun dari tahun ke tahun.

    Pembangunan kilang minyak harus dilakukan dengan visi pertimbangan strategis. Hal itu karena selain membutuhkan biaya yang sangat besar, tingkat pengembaliannya pun relatif lama. Bahkan pemerintah baru-baru ini menyebutkan IRR yang sangat tipis, hanya sedikit sekali di atas tingkat suku bunga. Oleh karenanya calon investor menginginkan tax holiday, tingkat pajak yang sangat rendah dalam waktu lama, menanyakan soal distribusi atau bisnis pengangkutan hingga pemasaran bahan bakar minyaknya.

    Meski demikian, kita dapat berkaca pada negara tetangga yang saat ini memposisikan dirinya sebagai pusat pengilangan di Asia Tenggara. Di Singapura, terdapat tiga perusahaan kilang minyak. Ketiganya adalah ExxonMobil Jurong Island Refinery, kapasitasnya 605 ribu barel per hari; Singapore Refinery Company Jurong Island Refinery, kapasitas 285 ribu barel per hari; dan Shell Pulau Bukom Refinery, berkapasitas 458 ribu barel per hari. Seluruh bahan baku berupa minyak mentah dilakukan dengan cara impor. Produk akhirnya, yang telah memiliki nilai tambah, digunakan untuk kebutuhan dalam negerinya dan dijual ke negara-negara lain dengan harga yang lebih tinggi. Selain itu, hal ini akan menaikkan posisi tawar (bargaining position) juga mengingat kilang tersebut dibutuhkan oleh negara-negara di sekitarnya.

    (diolah dari berbagi sumber)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Melengkapi pembahasan pak Bagus

      Kilang Minyak (Refinery) yang dimiliki oleh Pertamina saat ini ada 6 unit total kap. 1055 MBSD dgn total Fuel Production 804,79 MBSD, yaitu : Kilang RU II Dumai (kap.175 MBSD dgn Fuel Production 130,57 MBSD), Kilang RU III Plaju/S. Gerong (kap. 135 MBSD dgn Fuel Production 94,4 MBSD), Kilang RU IV Cilacap (kap. 350 MBSD dgn Fuel Production 289,56 MBSD), Kilang RU V Balikpapan (kap. 260 MBSD dgn Fuel Production 196,19 MBSD), Kilang RU VI Balongan (kap. 125 MBSD dgn Fuel Production 88,2 MBSD) dan Kilang RU VII Sorong (kap. 10 MBSD dgn Fuel Production 5,87 MBSD).

      Ada 2 kilang yang didesign hanya dapat mengolah crude oil domestic yaitu Kilang Dumai, Kilang Plaju/Sungai Gerong dan Kilang Sorong, dan 3 kilang yang dapat mengolah crude oil domestic dan crude import yaitu Kilang Cilacap, Kilang Balikpapan dan Kilang Balongan.

      Crude Domestik yang dapat diolah di kilang Pertamina : Minas/SLC, Duri, Mudi, Jatibarang, Madura, Senipah Condensat, Handil, Atataka, Badak, Belida, Arjuna, Widuri, Cinta dan Banyu Urip (Blok Cepu). Sedagkan Crude Import yang sudah diolah di kilang Pertamina : ALC/Middle Est, Afrika (Sarir, Qua Iboe, Escravos, Nile Blend, dll), Asia (Seria, Kikeh, Champion, Azeri, dll).

      Ref. EIA untuk Indonesia pada tahun 2012 Total Oil Supply (974 MBSD) vs Total Petroleum Consumption (1.590 MBSD) sehingga terdapat defisit sebesar (615 MBSD).

      Saat ini domestic crude yang diolah di Kilang Petamina hanya 527 MBSD dari Total Oil Supply 974 MBSD, kekurangan dimport sebanyak 511 MBSD. Hasil olahan dari kilang berupa fue production total 804,79 MBSD (Tetap masih defisit dari total comsumsion yaitu 1.590 MBSD). Sehingga produk jadi pun tetap diimport sebesar 785 MBSD (750.000 barrel/day).

      Pertanyaan sekarang apakah dengan mengimport produk jadi BBM setiap hari sebesar minimal 750.000 barrel/hari untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri sebesar 1.590.000 barrel/hari lebih ekonomis dibandingkan dengan membangun kilang dengan kapasitas minimal 1000 MBSD + import crude oil sebesar 1.511 MBSD. Ini merupakan tantangan ………. Diperlukan studi kelayakan (feasibility study) pembangunan kilang tersebut.

      Sejauh ini hanya dua investor asing yang berniat membangun kilang minyak di Indonesia, antara lain Kuwait Ptroleum International Company dan Saudi Aramco Asia Company Limited. Keduanya tertarik menggarap proyek ini di Balongan, Jawa Barat dan Tuban, Jawa Timur. Apa yang mereka perlukan (investor) ? Apa perlu diberikan insentif ? Kalau insentif masuk akal bisa diberikan tidak ?

      Samuel ME 2013

      Hapus
  5. Kufpec minta insentif antara lain tax holiday lebih dari 10 tahun dan ditolak Kementerian Keuangan, sedangkan yang Aramco batal ( disini. ). Rencana mau bikin kilang menggunakan dana APBN ( disini. ), tapi kemudian batal juga ( disini. ). Akhirnya berencana bangun kilang dengan skema kerjasama Pemerintah-Swasta, bulan depan akan diumumkan calon investornya ( disini. ). Kita tunggu saja (rasa2nya akan batal lagi).

    BalasHapus
  6. saat ini pemerintahan yg baru berencana akan menaikkan harga bbm bersubsidi, dan sebagai gantinya pemerintah akan memangkas izin,.. apakah hal ini akan berdampak positif bagi iklim investasi di Indonesia ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. pemotongan harga BBM bersubsidi akan memberikan dampak positif dan dampak negatif bagi iklim investasi di Indonesia.

      Dampak positif :
      Sisi supply yang terjadi pada saat ini hanya bergantung dari salah satu energi seperti minyak, gas dan batubara. Ketergantungan supply terhadap salah satu energi (BBM) mengakibatkan investor tidak tertarik untuk berinvestasi di energi terbarukan meskipun terjadi penurunan produksi pada minyak. Dengan adanya kenaikan (pemotongan subisidi) ini diharapkan pemerintah dapat memfokuskan ke energi-energi alternatif yang lain atau sektor sektor lain (seperti sektor pertanian, pendidikan , maritim, dll).

      Dampak Negatif :
      Setelah meninjau lebih jauh, Pemotongan harga subsidi BBM akan membatasi penggunaan atau konsumsi energi di Indonesia. ketika konsumsi energi rendah maka pertumbuhan ekonomi akan turun pula. Mari kita lihat di Artikel Khusus 3 yang membahas hubungan konsumsi energi dan GDP.

      Perlunya diperhatikan untuk kedua dampak ini.

      Salam,
      William Maha Putra
      ME 14

      Hapus
    2. Salah satu perbaikan yang dapat ditempuh selain melaui beberapa kebijakan untuk mengurangi impor minyak dan produk olahan (refined product) termasuk reformasi subsidi energi dan upaya peningkatan efisiensi energi dengan mengoptimalkan energy baru terbarukan.

      Hapus
    3. Menaikan harga bbm bersubsidi yang berarti juga sebagai penurunan beban pemerintah terhadap alokasi dana APBN pemerintah akan memberikan dampak positif terhadap iklim investasi di Indonesia. Jika kita melihat sekilas pada sector ketenagalistrikan, isu pembangunan FTP tahap 2 proyek pembangkit 35.000 mw, dibutuhkan dana yang sangat besar dari pemerintah agar proyek tersebut dapat berjalan dengan baik. Biaya tinggi akan mendukung kualitas pembangunan pembangkit yang lebih baik. Melalui cadangan APBN yang lebih banyak maka untuk merealisasikan program pembangunan FTP tahap 2 akan lebih terjamin dari sisi pendanaan.
      Diluar sector ketenagalistrikan juga terdapat potensi yang baik dari alokasi dana APBN yang lebih besar yaitu untuk anggaran pembangunan infrastruktur. Hal ini akan membuat iklim investasi bergerak kearah yang lebih baik jika infrastruktur yang memadai sudah tersedia di Indonesia.
      Namun ada dampak negative yang perlu diwaspadai dari kenaikan harga bbm tersebut. Saya sependapat dengan pak William bahwa dengan meningkatnya harga bbm bersubsidi akan mengurangi daya beli yang berakibat pada pertumbuhan ekonomi suatu Negara akibat konsumsi energy Negara tersebut berkurang.

      Salam,
      Toni Sukmawan

      Hapus
    4. Menyambung pernyataan Pak Herry sebelumnya mengenai impor minyak. Saya setuju dengan Pak Herry, untuk mengurangi impor minyak. Untuk mengurangi impor, maka setidaknya kita harus memiliki kilang-kilang minyak. Kilang-kilang minyak rencana diselesaikan pada tahun 2018. Jika kilang-kilang dan infrastruktur sudah ada, maka kita akan dapat mengurangi impor.
      Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah langkah apa yang harus kita ambil dalam rangka pengurangan impor minyak sambil menunggu kilang minyak itu selesai dibangun?

      Salam,
      William Maha Putra

      Hapus
    5. Menanggapi pertanyaan william, langakah yang dapat diambil dalam rangka pengurangan impor minyak : pemerintah bisa meningkatkan porsi biodiesel dalam porsi biosolar.Pemanfaatan biodiesel sebagai sumber energi baik untuk kendaraan bermotor maupun industri. dikutip dari (http://www.neraca.co.id) menyatakan bahwa : ''Pemanfaatan biodiesel sebagai sumber energi adalah sebesar 669 ribu kL dari total penggunaan solar sebesar 35 juta kL.Hal ini berarti porsi biodiesel di dalam biosolar baru mencapai 1,91%.Dalam rangka mengurangi impor solar, Pemerintah telah menetapkan kebijakan berupa peningkatan porsi biodiesel dalam biosolar menjadi 10%, atau setara dengan 3,5 juta kL biodiesel. Untuk memenuhi kebutuhan biodiesel sebesar 3,5 juta kL, dapat dipenuhi dari dalam negeri karena kapasitas terpasang saat ini sebesar 5,6 juta kl"
      Dari kutipan diatas dapat kita lihat bahwa sebenarnya pemerintah mampu untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri, juga kita ketahui bahwa negara kita banyak potensi untuk menyediakan biodisel dan biosolar, Sekarang apa kendala dari solusi tersebut?

      salam,
      Niko Lastarda me 14

      Hapus
    6. fenomena saat ini harga minyak bumi saat ini sedang mengalami penurunan, dan rencananya pemerintah akhir tahun ini akan merevisi harga bbm dan juga akan kemungkinan menghapus subsidi bbm premium.
      apakah ini akan membawa dampak positif bagi perekomian Indonesia dan juga dampak bagi iklim investasi di Indonesia?

      Salam,

      Ari D Putra
      ME 2014

      sumber :
      http://oil-price.net/index.php?lang=id
      http://finance.detik.com/read/2014/12/29/085220/2788676/1034/pemerintah-berencana-hapus-subsidi-bensin-premium?f991104topnews

      Hapus
  7. Salam Energi,

    Berbicara mengenai impor energi khususnya BBM menjadi sangat krusial karena Indonesia sebagai salah satu produsen BBM namun kenyataannya masih mengimpor BBM yangmana nilainya lebih besar dari pada ekspornya.
    Berikut current defisit neraca perdagangan Ekspor-Impor Minyak dan Gas Indonesia yang tercatat pada qurtal pertama (Januari-Maret) dan quartal kedua (April-Juni) Tahun 2014 yangmana data yang tersaji merupakan olahan tim Litbang dari Ahmad M Ali:

    Berdasarkan grafik neraca perdagangan pada quartal pertama di tahun 2014 (Januari-Maret), katanya, terjadi defisit ekspor-impor komoditas migas nasional yang mencapai 2,75 miliar dolar Amerika. Kondisi ini berlanjut pada quartal kedua di tahun 2014 (April-Juni) dengan penambahan defisit sebesar 3,19 miliar dolar Amerika. Sehingga total beban defisit perdagangan yang terjadi dalam periode qurtal pertama dan quartal kedua mencapai 5,94 miliar dolar Amerika.

    Penyebab meningkatnya impor migas juga berasal dari lifting minyak di Indonesia yang berkurang. Lifting minyak merupakan proses memproduksi, mengolah, dan menggunakan minyak untuk keperluan dalam negri. Pemerintah pesimis dengan target lifting minyak pada tahun 2014 yang menargetkan 870 ribu barel per hari (bph) sehingga direvisi menjadi 820 ribu bph. Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), menjelaskan bahwa sumur minyak di Indonesia sudah tua sehingga tidak optimal lagi dalam memproduksi. Realisasi lifting pada tahun 2013 kemarin juga meleset dari target, yang mulanya ditarget 840 ribu bph hanya direalisasi 826 ribu bph saja.

    Penggunaan energi yang tidak terkendali ini membuat pemerintah turut campur tangan. Sudah banyak kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan di bidang energi. Baru-baru ini Dewan Energi Nasional (DEN) dan Komisi VII DPR RI telah menyepakati Rancangan Kebijakan Energi Nasional atau R-KEN untuk diproses lebih lanjut menjadi Kebijakan Energi Nasional (KEN). KEN ini bertujuan untuk pengelolaan dan sasaran penyediaan energi nasional sampai tahun 2050 mendatang yang mengacu pada energi baru terbarukan (EBT), bauran energi, pengelolaan batubara, gas bumi, harga subsidi energi, dan juga ketentuan pengurangan subsidi energi.

    Menurut pandangan Tumiran, anggota Dewan Energi Nasional, KEN masih dinilai kurang cerdas karena energi yang terdapat di Indonesia hanya digunakan dan dijual ke luar negeri tanpa adanya penambahan nilai. KEN seharusnya mampu mendorong percepatan kemandirian dan ketahanan energi bangsa. Oleh karena itu, DEN sudah merencanakan pemanfaatan EBT, yaitu energi surya, angin, air, dan biomassa, yang mampu memenuhi kebutuhan energi nasional sampai 21%. Saat ini EBT baru memenuhi 5% dari seluruh kebutuhan energi masyarakat di Indonesia.

    Kebijakan lain yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia sejak lama dan sering menimbulkan pro-kontra dari banyak pihak ialah subsidi bagi masyarakat yang kurang mampu. Subsidi merupakan alokasi anggaran yang disalurkan melalui perusahaan/lembaga yang memproduksi dan menjual barang serta jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak (Nota Keuangan dan RAPBN 2014). Kebijakan subsidi ini juga turut melaksanakan fungsi distribusi pemerintah dalam RAPBN 2014.

    Fungsi tersebut bertujuan untuk meratakan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya subsidi energi, harga jual lebih dapat dijangkau masyarakat. Namun dalam memberikan subsidi pun pemerintah juga harus mempertimbangkan kemampuan keuangan negara terlebih dahulu.

    Salam,
    Heru Wijayanto
    ME-2014

    Sumber:
    http://www.tribunnews.com/nasional/2014/11/21/indonesia-pengimpor-minyak-terbesar-di-dunia-cadangan-migas-justru-jadi-beban-apbn
    http://bem.feb.ugm.ac.id/kebijakan-energi-indonesia-solusi-kebutuhan-energi-dan-pengaruhnya-terhadap-keuangan-negara/

    BalasHapus
  8. Tambahan informasi tentang subsidi pemerintah :
    Subsidi dari pemerintah dibagi menjadi dua, yaitu subsidi energi dan subsidi nonenergi. Pada tahun 2014 alokasi belanja subsidi energi sebesar 284,7 triliun rupiah, yang terdiri atas subsidi listrik 89,8 triliun rupiah dan subsidi BBM 194,9 triliun rupiah. Sedangkan belanja subsidi nonenergi hanya sebesar 51,6 triliun rupiah.
    Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tanggap akan kebutuhan energi masyarakat yang besar dan daya beli masyarakat yang masih rendah.

    salam,
    Niko lastarda
    ME-14

    sumber :
    http://bem.feb.ugm.ac.id/kebijakan-energi-indonesia-solusi-kebutuhan-energi-dan-pengaruhnya-terhadap-keuangan-negara/

    BalasHapus

Membuat Link Pada Komentar Anda
Agar pembaca bisa langsung klik link address, ketik:
<a href="link address">keyword </a>
Contoh:
Info terkini klik <a href="www.manajemenenergi.org"> disini. </a>
Hasilnya:
Info terkini klik disini.

Menambahkan Gambar Pada Komentar
Anda bisa menambahkan gambar pada komentar, dengan menggunakan NCode berikut:

[ i m ] URL gambar [ / i m ]

Gambar disarankan memiliki lebar tidak lebih dari 500 pixels, agar tidak melebihi kolom komentar.