.

Sumur Minyak

Saat ini Indonesia memiliki 1.100 lapangan minyak (sumur minyak) yang sudah beroperasi. Sebanyak 3 ribu lapangan minyak lainnya menunggu untuk dieksplorasi.

Panas Bumi Kamojang

Usulan JB Van Dijk pada tahun 1918 untuk memanfaatkan sumber energi panas bumi di daerah kawah Kamojang, Jawa Barat, merupakan titik awal sejarah perkembangan panas bumi di Indonesia.

Bendungan Saguling

Bendungan Saguling adalah waduk buatan yang terletak di Kabupaten Bandung Barat pada ketinggian 643 m di atas permukaan laut. Waduk ini merupakan salah satu dari ketiga waduk yang membendung aliran sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat.

Rig Pengeboran

Rig pengeboran adalah suatu bangunan dengan peralatan untuk melakukan pengeboran ke dalam reservoir bawah tanah untuk memperoleh air, minyak, atau gas bumi, atau deposit mineral bawah tanah.

Rabu, 21 Desember 2016

Renewable energy. We know it but deny it.

Renewable energy. We know it but deny it.

oleh: Arief Murnandityo, Farianto, Gilang Permata Saktiaji, Hizkia Sandhi Raharjo

Availability and quality problems menyebabkan tingginya biaya energi yang merupakan komponen biaya operasional yang tinggi bagi operator telekomunikasi Indonesia saat ini dan salah satu kendala bagi pembangunan broadband saat ini.

Penurunan biaya energi menjadi penting  guna meningkatkan EBITDA di tengah lesunya bisnis. 

Berbagai teknik telah dicoba termasuk penggunaan renewable energy dengan hasil yang cukup menggembirakan untuk tahap permulaan.

Namun, mengapa dihentikan?

TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari studi kasus ini adalah sebagai sarana belajar bagi mahasiswa untuk membangun awareness di bidang energi terkait dengan bidang telekomunikasi dengan memperhatikan dan mengikuti perkembangan yang terjadi untuk kemudian menarik pengetahuan yang berharga dari artikel dan diskusi yang terjadi.

PERTUMBUHAN BISNIS TELEKOMUNIKASI DUNIA

Industri telekomunikasi dunia berubah drastis dalam 10 tahun terakhir
ditandai dengan makin banyaknya customer yang bersifat “data-hungry” dengan menggunakan berbagai smart devices sehingga meningkatkan kebutuhan akan bandwidth yang semakin besar. 
Dari total 7,5 miliar langganan yang tercatat untuk layanan mobile pada kuartal ke-3 tahun 2016 di seluruh dunia, 55%-nya adalah pengguna smartphone.
(Sumber: Ericsson Mobility Report, November 2016). 
Semakin banyaknya penggunaan smartphone tersebut mempengaruhi pertumbuhan payload data seperti yang ditunjukkan oleh grafik dan tabel berikut:

Gambar 1. Pertumbuhan Payload Data dan Trafik Voice di Seluruh Dunia Q3 2011 – Q3 2016
(sumber: Ericsson Mobility Report, November 2016)

Pengaruh transformasi digital yang terjadi pada industri telekomunikasi yang ditandai dengan semakin banyaknya mobile content, applications, services dan smart devices
terus mendorong operator telekomunikasi di seluruh dunia untuk mengambil keputusan-keputusan strategis dalam mengantisipasi pertumbuhan trafik data yang diprediksi semakin meningkat dalam beberapa tahun ke depan agar bisnis tetap memiliki sustainable growth
Tabel 1. Pertumbuhan Trafik Data Berdasarkan Regional
(sumber: WP Cisco Visual Networking Index: Forecast and Methodology, 2015-2020)

Sejauh ini hasil dari transformasi yang dilakukan para operator telekomunikasi tersebut menunjukkan hasil yang beragam,
secara global trend pendapatan operator telekomunikasi dalam kondisi stagnant seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 berikut:

Gambar 2. Pertumbuhan Pendapatan Operator Wireless Worldwide
(sumber: Ericsson Mobility Report Appendix, Mobile Business Trends, November 2015)

Walaupun secara global ada trend pertumbuhan pendapatan operator seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2 di atas, trend ARPU secara global menunjukkan terjadinya penurunan.  


Gambar 3. Trend ARPU Di Berbagai Regional

Trend penurunan ARPU ini menjadi salah satu tantangan yang dihadapi para operator telekomunikasi saat ini 
termasuk bagaimana memonetisasi pertumbuhan layanan mobile data agar menjadi sumber pendapatan lain bagi operator. 
Di banyak negara, pendapatan dari mobile data terbukti tidak mencukupi untuk menggantikan layanan legacy seperti voice dan SMS yang terus mengalami penurunan;
salah satunya disebabkan oleh maraknya pengguna dan aplikasi Over The Top (OTT) seperti Whatsapp, Line, Telegram, dan sebagainya. 
Aplikasi-aplikasi OTT tersebut memiliki potensi mengurangi pendapatan operator telekomunikasi sebanyak 50% hingga 90%. (sumber: The Future Communications Service Provider, Accenture, 2015).

PERTUMBUHAN BISNIS TELEKOMUNIKASI INDONESIA

Pendapatan terbesar operator telekomunikasi yang dulu berasal dari voice dan SMS kini tidak lagi terjadi.
antara lain akibat dari perubahan gaya hidup, pergeseran teknologi, dan trend pemakaian perangkat ke layanan data dan digital sebagai dampak yang kurang diperhitungkan dari digelarnya layanan data oleh operator,
hal ini menyebabkan penurunan sisi revenue yang berasal dari voice dan SMS dan  terjadi dengan sangat cepat.

Gambar 4. MoU dan ARPU Telkomsel 2006 - 2014
(sumber: laporan keuangan tahunan)
Trafik layanan voice (MoU) Telkomsel masih terus tumbuh walaupun trend ARPU (Average Revenue Per User) mengalami penurunan seperti yang terjadi pada trend ARPU global.

SITUATION

Dengan melihat kondisi bisnis operator telekomunikasi di atas, terutama bagi operator yang mengalami stagnasi pertumbuhan bisnis,
efisiensi biaya adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk kembali meningkatkan EBITDA perusahaan. 
Komponen biaya energi dalam hal ini konsumsi biaya listrik untuk perangkat-perangkat telekomunikasi adalah salah satu komponen OPEX yang paling besar
yang dapat mencapai 50% dari komponen biaya operasional network
dan 8% dari total biaya operasional perusahaan.
(sumber: Kuliah Kapita Selekta, Telecommunication Access Network Energy Management 2016). 
Para operator terus berusaha mencari strategi untuk menurunkan OPEX
terkait energi baik untuk tujuan memotong biaya operasional guna meningkatkan profitabilitas serta mendukung program pemerintah dalam isu lingkungan hidup dan penghematan energi (go green). 
Diantara beberapa alternatif solusi untuk menurunkan biaya energi adalah opsi dengan memanfaatkan teknologi energi terbarukan (renewable energy).

Renewable energy (RE) 

Teknologi ini mengacu kepada sumber energi yang dapat digunakan tanpa menghabiskan persediaannya.
Hal ini berarti bahwa sumber energi terbarukan dapat dibangkitkan atau diperbaharui kembali dalam waktu yang relatif singkat. 
Diantara beberapa sumber energi terbarukan yang digunakan adalah sinar matahari, angin, bioenergi/biomass, energi air, energi panas bumi, gelombang air pasang serta bahan bakar alternatif seperti ethanol dan biodiesel. 
Pada aplikasi untuk telekomunikasi, 
suatu solusi yang efisien dan handal adalah dengan mengkombinasikan sumber energi terbarukan dengan sumber energi “tradisional”. 
Sistem tenaga listrik hybrid tersebut dapat saling melengkapi dan memberikan fitur terbaik dari tiap-tiap sumber energi dan dapat menyediakan sumber daya listrik sekelas energi listrik dengan “grid-quality” pada tingkat harga yang dapat diterima.
Untuk dapat mencapai kondisi power yang tidak terputus bagi perangkat telekomunikasi dengan kualitas power yang baik, sistem energi hybrid dilengkapi dengan sistem penyimpanan energi (battery) dan teknologi redundant.   

Menurut laporan GSMA Green Power for Mobile tahun 2014,
banyak perusahaan penyedia infrastruktur dan energi di dunia mencari solusi jangka panjang untuk efisiensi energi, penurunan biaya energi dan kepastian harga energi karena biaya pembangkitan dan penyediaan energi tersebut mencapai 60% dari total pengeluaran tahunan. 
Menurut Economic Times, Bharti Infratel, salah satu perusahaan penyedia infrastruktur di India,
berhasil menerapkan energi terbarukan untuk efisiensi biaya energi dengan capaian cost saving hingga sekitar 55 miliar rupiah per tahun. 
Di Indonesia sendiri,
salah satu operator telah menerapkan teknik CDC pada lebih dari 500 sitenya.


PROBLEM

Penerapan energi terbarukan yang sebagai alternatif untuk menurunkan biaya energi di industri telekomunikasi 
kurang diterapkan di Indonesia
Menurut laporan GSMA Green Power for Mobile - Greening the Network: Indonesia Market Analysis tahun 2013, 
dari 90.699 site tower di Indonesia,
aplikasi energi terbarukan/green power solution hanya diterapkan pada 5% atau 4.590 site saja.
Dari 4.590 site tersebut, 87% menggunakan solusi RE berbasis solar (sinar matahari) dan diikuti dengan solusi berbasis fuel cell sebanyak 556 site. 
Berikut adalah gambar distribusi kategori yang diterapkan di Indonesia.


Gambar 5. Penerapan RE Pada Operasi Telekomunikasi Indonesia
(sumber: laporan GSMA Green Power for Mobile - Greening the Network: Indonesia Market Analysis tahun 2013)
Dari paparan di atas, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah mengapa para operator Indonesia masih enggan untuk menerapkan teknologi renewable energy
sementara aplikasi energi terbarukan terbukti mampu menurunkan biaya energi bagi banyak operator lain di berbagai belahan dunia.

PEMBAHASAN

Salah satu penyedia layanan infrastruktur (tower provider) terbesar di India, Bharti Infratel sejak tahun 2013
telah menggunakan RE seperti Solar Panel pada 1.050 site mereka dan sudah menghemat 6,9 juta liter bahan bakar dan sekitar 280 juta Rupee atau sekitar 55 miliar rupiah per tahun.
Selain itu Bharti mengimplementasikan Integrated Power Management System (IPMS) dan Variable Speed DC Generator (DCDG) pada 900 site dan menghemat sebesar 47 juta Rupee atau sekitar 9,2 miliar rupiah per tahun. 
Vodafone juga melakukan hal yang sama, sesuai dengan kampanye mereka “ReSolve”. 
Pada tahun 2010 Vodafone melakukan uji coba penggunaan Solar Power pada 4 site dan mereka meyakini dengan penggunaan Solar Power dapat mengurangi ketergantungan terhadap Diesel Generator dengan pengurangan sebesar 2,8 juta kg CO2 per tahun.
Selain itu, pada tahun 2011 Vodafone juga mengimplementasikan Hybrid Solution (Diesel Generator + Battery) pada 2200 site yang dimiliki dan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar sebesar 26 juta liter atau setara dengan 7 juta kg CO2.

Salah satu operator di Indonesia menerapkan teknik CDC di lebih dari 500 site miliknya. 
Teknik ini menggunakan dua genset dan satu baterai sebagai catu daya.
Genset diatur bekerja menyuplai beban site sekaligus sebagai catu daya charging baterai.
Berdasarkan data aktual, teknik CDC dapat menghemat pemakaian bahan bakar hingga sebesar 75%.(sumber: http://www.manajemenenergi.org/2012/11/cdc.html). 

 Sekilas CDC

Dengan menggunakan teknik CDC, setiap bulannya akan terjadi penghematan sebesar USD 1,4 juta. 

Gambar 6. Diagram CDC
(sumber: http://www.manajemenenergi.org/2012/11/cdc.html)

Dengan investasi total di awal sebesar 25,4 juta dolar AS, 
maka biaya investasi tersebut akan tergantikan dengan penghematan yang terjadi selama 18 bulan atau 1,5 tahun.
dengan usia teknis selama 4 tahun maka dengan sisa 2,5 tahun berikutnya adalah total penghematan yang bernilai sekitar USD 40 juta (sumber: http://www.manajemenenergi.org/2012/11/cdc.html). 

HIPOTESIS

Awareness dari para operator telekomunikasi di Indonesia terhadap pemanfaatan renewable energy dan solusi hybrid lainnya untuk menekan biaya energi sepertinya masih rendah.

QUESTIONS

  1. Dan walaupun sudah diimplementasikan pada sejumlah site, mengapa operator di Indonesia tidak mengimplementasikan RE dalam jumlah besar?
  2. Apakah secara teknis masih dianggap kurang layak? Apa saja yang menjadi kendalanya?
  3. Apakah biaya investasi yang tinggi di depan menjadi penyebab dari enggannya operator untuk memanfaatkan RE walaupun sesuai data bahwa biaya operasional site akan lebih rendah hingga 30% ?
  4. Apakah pola outsourcing (manage service) energi pada operator telekomunikasi dapat diterapkan?
  5. Di sejumlah daerah yang disebut memiliki rasio elektrifikasi tinggi namun pada kenyataannya terkendala dengan availability (ketersediaan), dan kualitas, dan kehandalan (reliability). Berapa besar opportunity lost yang ditimbulkan? Apakah ini yang menjadi salah satu penyebab keengganan tersebut? 
Mari kita diskusikan ...
++

Artikel terkait:

1. Infrastructure sharing. Why?
2. Telco needs a new engine? Apa spesifikasinya??
3. Telecommunication at the crossroad?
4. What is the truth here?