.

Rabu, 20 November 2013

10. DIRECT UNIT Comparison

Seri Ekonomi Pembangkitan

oleh: Kelompok 2
Bagus W. Wahyuntoro, Samuel LB. Parura, Felix Rudianto, Nino Teguh Pamuji

Prinsip “provide energy at the lowest possible cost” digunakan pada pemilihan alternatif pembangkit.

Setelah kandidat pembangkit ditentukan dengan total system cost analysis, bagaimana kita membandingkan pembangkit satu dengan alternatif yang lain? Bagaimana kita mengambil keputusan dengan menggunakan perbandingan yang objektif?

Direct unit cost comparison merupakan perbandingan yang hanya menggunakan biaya pembangkit alternatif dalam perhitungannya. Ada dua metoda direct unit comparison sebagai berikut.
    1. Cost of Electricity (COE)
    2. Lifecycle Cost (LCC)

Cost of Electricity (COE)

Merupakan biaya yang dikeluarkan tiap kWh atau tiap MWh oleh pembangkit tenaga listrik ($/MWh). COE sering juga disebut dengan terminologi “busbar cost”.
COE digunakan pada pembangkit  satu dengan yang lain, dengan membandingkan $/MWh atau $/kWh masing-masing pembangkit. 

Pembangkit yang memiliki COE terendah yang akan dipilih.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada dua komponen biaya pembangkitan:
  1. Biaya tetap (dalam $/year atau Rp/tahun),
    harus dikeluarkan baik pembangkit beroperasi atau tidak, terdiri atas biaya investasi / kapital dan biaya tetap O&M
  2. Biaya variabel (dalam $/MWh atau Rp/kWh),
    sebanding dengan fungsi energi yang dibangkitkan, terdiri atas biaya bahan bakar dan biaya variabel O&M
Cost of Electricity (COE) suatu pembangkit dihitung dengan persamaan berikut:
COE = 103 x [ D x fcr + Of ] / (8760 x Cf) + (Ov + h x F x 10-3)
•      COE = Cost of Electricity ($/MWh)
•      D = biaya kapital pembangkit ($/kW)
•      fcr = levelized fixed-charge rate (p.u.)
•      Of = Biaya tetap O&M ($/kW-yr)
•      Ov = Biaya variabel O&M ($/MWh)
•      Cf = Capacity factor (p.u.)
•      h = heat rate (kJ/kWh atau Btu/kWh)
•      F = biaya bahan bakar ($/GJ atau $/MBtu) 
Esensi COE adalah satuannya, $/MWh. COE merupakan metode yang paling sering digunakan karena simple namun sering menimbulkan misleading, sebagai berikut:
  • Meskipun biaya investasi, D, dari tiap alternatif diperoleh secara konsisten, namun rating pembangkit yang sebenarnya bisa saja berbeda.
    Sehingga pembangkit tersebut belum tentu dapat memberikan energi yang sama kepada sistem dan tidak dapat berkontribusi pada kehandalan sistem atau kemampuan memikul beban.
  • Meski rating-nya sama pun, pembangkit tersebut tidak dapat berkontribusi pada kehandalan sistem, apabila FOR-nya berbeda.
  • Capacity factor, Cf, harus diasumsikan pada pembangkit tersebut sehingga energi tahunan dapat dibandingkan satu dengan yang lain.

Lifecycle Cost (LCC)

Merupakan biaya yang dikeluarkan tiap tahun oleh pembangkit tenaga listrik ($/year). 

Evaluasi LCC mempertimbangkan umur pembangkit (total unit life).

Komponen LCC adalah sebagai berikut:
–     Biaya Kapasitas Pembangkit (Capacity Cost)
–     Biaya Energi Pembangkit  (Energy Cost)
Untuk menghitung LCC, mula-mula, salah satu alternatif dipilih menjadi base unit.

PERHITUNGAN CAPACITY COST

Kapasitas efektif pembangkit (base = L0 dan alternate = L) dihitung terlebih dahulu. 
Biaya kapasitas base unit adalah sebagai berikut.
   G0 = C0 x [ D0 x fcr + Of0 ]
•      G0 = Biaya kapasitas base unit ($/yr)
•      C0 = kapasitas pembangkit base unit (kW)
•      D0 = biaya capital pembangkit base unit ($/kW)
•      fcr = levelized fixed-charge rate (p.u.)
•      Of0 = biaya tetap O&M ($/kW-yr)

Biaya kapasitas alternate unit adalah sebagai berikut.
   G = C x [ D x fcr + Of ] + ( L0 - L ) Sc
•      G = Biaya kapasitas alternate unit ($/yr)
•      C = kapasitas pembangkit alternate unit (kW)
•      D = biaya capital pembangkit alternate unit ($/kW)
•      L0 , L = kapasitas efektif pembangkit, base unit dan alternate unit (kW)
•      Sc = Biaya kapasitas system replacement ($/kWh-yr)
Komponen “( L0 - L ) Se meng-kompensasi perbedaan baik kapasitas dan FOR dari base unit dan alternate unit.

PERHITUNGAN ENERGY COST

Energi yang diproduksi base unit
   W0 = C0 x 8760 x Cf
-  W0 = Energi base unit (kWh/yr)
-   Cf = capacity factor (p.u)

Biaya energi base unit (awal)
   E0 = W0 x (h0 x F0 /106 + Ov0 /103)
-  E0 = Biaya energi base unit ($/yr)
-  h0 = Heat rate base unit (kJ/kWh atau Btu/kWh)
-  F0 = Biaya bahan bakar base unit ($/GJ atau ($/Mbtu)
-  Ov0 = Biaya variabel O&M base unit ($/MWh)

Energi yang diproduksi alternate units
   W = C x 8760 x Cf x (1-Rf) / (1-Rf0)
-  W = Energi alternate units (kWh/yr)
-  Rf = FOR alternate unit (p.u)
-  Rf0 = FOR base unit (p.u)

Biaya energi alternate units (awal) adalah sebagai berikut.
   E = W x (h x F /106 + Ov /103) + (W0 – W) x Se /103
-  E = Biaya energi alternate unit ($/yr)
-  h = Heat rate (kJ/kWh atau Btu/kWh)
-  F = Biaya bahan bakar alternate unit ($/GJ atau ($/Mbtu)
-  Ov = Biaya variabel O&M ($/MWh)
-  Se = Biaya energi system replacement ($/MWh)

Komponen “(W0 – W) x Se meng-kompensasi biaya energi alternate unit terhadap biaya energi base unit.
Pada biaya energi, terdapat komponen capacity factor yang kenyataannya berubah terhadap waktu. Untuk itu harus dilakukan level terhadap capacity factor.

Gambar 1. Capacity Factor Trend
Demikian juga komponen fuel cost pada biaya energi yang kenyataannya juga berubah terhadap waktu dan harus dilakukan level terhadap komponen fuel cost ini.

Gambar 2. Fuel Cost Trend

Demikian juga terhadap biaya O&M dapat dilakukan level yang sama.
Setelah dilakukan level terhadap capacity factor dan fuel cost, maka dilakukan level terhadap produk keduanya. 

Kemudian hasilnya dimasukkan ke dalam persamaan biaya energi awal dan diperoleh biaya energi final.

Biaya energi (final) untuk base unit adalah sebagai berikut.

Biaya energi (final) untuk alternate unit adalah sebagai berikut.

Komponen Cf x F dan yang lainnya merepresentasikan ekuivalen dari komponen-komponen tersebut yang telah disetarakan (level).

SCREENING CURVES

Merupakan penggambaran (plot) dari annual cost pembangkit (dalam $/kW-year) terhadap capacity factor (dalam p.u.). 

Screening curves bukan metode evaluasi yang menggantikan kalkulasi LCC.

Screening curves paling sering berguna untuk perbandingan kasar secara keseluruhan (gross comparison) pembangkit dengan mode aplikasi yang berbeda atau untuk mengilustrasikan dengan mode seperti apa, tipe suatu pembangkit atau pembangkit baru dapat digunakan.
Screening curves digambarkan untuk tiap pembangkit seperti Gambar 3 di bawah. 

Pembangkit “X” merupakan suatu pembangkit dengan biaya investasi yang tinggi namun biaya bahan bakar yang lebih rendah dari pembangkit nuklir.

Gambar 3. Screening Curves (tanpa eskalasi)
Bagaimana menginterpretasikan kurva tersebut?
Untuk beban dasar (Cf > 0.5), pembangkit nuklir relatif terbaik. 
Untuk beban puncak (Cf < 0.35), pembangkit gas relatif memiliki biaya terendah. 
Untuk faktor kapasitas sekitar 0.4, terlihat combined-cycle dapat dijalankan terus, bersaing dengan penggunaan pembangkit batubara. 
Pembangkit “X” harus keluar (screened out) dari pertarungan karena tidak memiliki biaya terendah pada faktor kapasitas berapapun
Apabila digunakan asumsi eskalasi 8% tiap tahun untuk biaya bahan bakar dan O&M akan diperoleh . screening curves seperti Gambar 4 di bawah.

Gambar 4. Screening Curves (dengan eskalasi)
Pada Gambar 4 tersebut terlihat bahwa terjadi pergeseran proporsi biaya bahan bakar dan biaya investasi. 
Pembangkit “X” yang dapat digunakan pada area faktor kapasitas tinggi, sehingga pembangkit nuklir hanya dapat digunakan untuk aplikasi midrange.
Pembangkit combined-cycle masih dapat digunakan namun pada area yang kecil.
Pembangkit batubara tidak dapat dijalankan (screened out) karena tidak memiliki biaya terendah pada faktor kapasitas berapapun.
Pembangkit turbin gas tetap dapat digunakan untuk beban puncak namun dengan area faktor kapasitas mengecil.
Screening curve tidak dapat digunakan sebagai dasar pemilihan pembangkit selanjutnya yang ditambahkan pada jaringan

Penambahan pembangkit baru harus menggunakan analisis keekonomian (total system cost analysis).

Summary

Direct unit comparison berguna untuk pemilihan pembangkit yang mirip dan tipe sama setelah unit size dan heat rate ditentukan dengan total system cost analysis.

Direct unit comparison juga berguna untuk menggambarkan mode aplikasi suatu pembangkit dimana secara ekonomi menjadi kompetitif. Penggambaran tersebut menggunakan screening curve, yang relatif sederhana dan cukup akurat.

Metode Cost of Electricity (COE) atau dengan membandingkan $/MWh masing-masing pembangkit, meskipun paling sering digunakan, namun ambigu dan rentan menjadi gambaran yang salah.

Metode Lifecycle Cost (LCC) lebih memakan waktu, namun memberikan lebih banyak pengertian, lebih lengkap, lebih akurat dan lebih disukai.

Dengan metode manapun, prinsip “at the lowest possible costmenjadi dasar dalam pemilihan pembangkit.

STUDI KASUS

Coba gunakan COE dan LCC untuk pemilihan pembangkit di bawah ini.

Symbol
Pembangkit  #1
(base)
Pembangkit  #2 (alternate)
Capacity
C
500 MW
490 MW
Plant Cost
D
950 $/kW
930 $/kW
Heat Rate
H
9,500 kJ/kWh   (9,005 Btu/kWh)
10,000 kJ/kWh  (9,479 Btu/kWh)
Fuel Price
F
1.65 $/GJ  (1.74 $/MBtu) 
1.65 $/GJ  (1.74 $/MBtu) 
O&M Fixed Cost
Of
4.0 $/kW-year
4.0 $/kW-year
O&M Variable Cost
Ov
2.4 $/MWh
2.5 $/MWh
Forced-Outage Rate (p.u.)
Rf
0.1
0.12
Discount Rate (p.u.)
R
0.12
Inflation Rate (p.u.)
U
0.08
Fixed-Charge Rate (p.u.)
fcr
0.18
Useful Life
n
30 years
LOLP slope
M
600 MW
System replacement capacity cost
Sc
50 $/kW-year
System replacement energy cost
Se
22 $/MWh

Referensi:
  • Energy Information Administration (EIA), (2013), Updated Capital Cost Estimates for Utility Scale Electricity Generating Plants, Washington, DC 20585
  • Marsh, W.D., Electric Utility Power Generation Economics, Clarendon Press – Oxford, University Press, NY
  • K.E. Holbert, (2011), Electric Energy Economics
  • Shaalan, H.E., Generation of Electric Power
  • http://dddusmma.wordpress.com/2011/11/01/true-cost-of-electricity/

Bahan Diskusi

  1. Dari studi kasus di atas, evaluasi dan lakukan perhitungan dengan menggunakan COE dan LCC !
  2. Seandainya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dimasukkan ke dalam screening curve, kira-kira bagaimana penggambarannya? Pada range capacity factor seperti apa pembangkit tersebut beroperasi?
  3. Bagaimana fuel cost trend energi fosil (batubara, minyak dan gas) di Indonesia? Dari sepuluh tahun terakhir, berapa inflation rate-nya? Sebutkan referensi pendukung.
  4. Dengan tetap menggunakan prinsip “at the lowest possible cost”, pembangkit batubara (PLTU) memiliki biaya pembangkitan yang cukup rendah untuk beban dasar, menurut IEA dan menurut statistik PLN. Mengapa PLTU masih jarang digunakan untuk pembangkit di luar Jawa?

Artikel Terkait

26 komentar:

  1. 1. Dari studi kasus di atas, evaluasi dan lakukan perhitungan dengan menggunakan COE dan LCC !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cost of Electricity (COE) pembangkit tersebut dapat dihitung melalui persamaan di atas sbb:

      COE = 10e3 x [ D x fcr + Of ] / (8760 x Cf) + (Ov + h x F x 10e-3)

      Pembangkit #1 (base unit) menghasilkan COE sebagai berikut:
      COE1 = 10e3 x [ D x fcr + Of ] / (8760 x Cf) + (Ov + h x F x 10e-3)
      = 10e3 x [ 950x0.18 + 4 ] / (8760x0.8) + (2.4 + 9,005x1.74x10-3)
      = 24.97 + 18.07
      = 43.04 $/MWh

      Pembangkit #2 (alternate unit) menghasilkan COE sebagai berikut:
      COE2 = 10e3 x [ D x fcr + Of ] / (8760 x Cf) + (Ov + h x F x 10e-3)
      = 10e3 x [ 930x0.18 + 4 ] / (8760x0.8) + (2.5 + 9,479x1.74x10e-3)
      = 24.46 + 18.99
      = 43.45 $/MWh

      Sehingga diperoleh COE pembangkit #1 (base unit) yang lebih kecil dibandingkan dengan pembangkit #2 (alternate unit).

      Hapus
    2. Dari langkah-langkah dan persamaan yang diperlihatkan di atas, perhitungan LCC adalah sebagai berikut.

      Langkah 1 – Menghitung kapasitas efektif pembangkit

      Pembangkit #1 (base unit) menghasilkan kapasitas efektif sebagai berikut:
      Lo = Co – Mo x ln ( 1 – Rfo + ( Rf0 x exp(Co/Mo) ) )
      = 500 – 600 x ln ( 1 – 0.1 + 0.1 x e 500 / 600 )
      = 426.62 MW (0.42662 GW)

      Pembangkit #2 (alternate unit) menghasilkan kapasitas efektif sebagai berikut:
      L = C – M x ln ( 1 – Rf + ( Rf x exp(C/M) ) )
      = 490 – 600 x ln ( 1 – 0.12 + 0.12 x e 490 / 600 )
      = 405.33 MW (0.40533 GW)

      Langkah 2 – Menghitung biaya kapasitas (capacity cost)

      Pembangkit #1 (base unit) menghasilkan biaya kapasitas sebagai berikut:
      Go = Co x [ Do x fcr + Ofo ]
      = 500 x 103 x [ 950 x 0.18 + 4.0 ]
      = 87,500,000 $ / year ( USD 87.5 MM / year )

      Pembangkit #2 (alternate unit) menghasilkan biaya kapasitas sebagai berikut:
      G = C x [ D x fcr + Of ] + ( Lo - L ) x Sc
      = 490 x 103 x [ 930 x 0.18 + 4.0 ] + ( 426.62 - 405.33 ) x 50
      = 83,986,000 + 1,064,500
      = 85,050,500 $ / year ( USD 85.1 MM / year )

      Langkah 3 – Menghitung biaya energi (energy cost)

      Apabila diasumsikan trend dari Capacity Factor (Cf) sebagaimana terlihat pada trend di atas dan eskalasi bahan bakar, O&M dan biaya energi system replacement adalah 8% seperti terlihat di atas, maka levelized Capacity Factor dengan bahan bakar (dari perhitungan) adalah:
      (Cf x Fo)lev. = (Cf x F)lev. = 1.132 x 1.65 = 1.87

      Dengan cara yang sama, levelized Capacity Factor dengan biaya variabel O&M (dari perhitungan) dari pembangkit #1 adalah:
      (Cf x Ovo)lev. = 1.132 x 2.4 = 2.72

      Sedangkan untuk pembangkit #2 adalah:
      (Cf x Ov)lev. = 1.132 x 2.5 = 2.83

      Levelized Capacity Factor dengan biaya energi system replacement (dari perhitungan) adalah:
      (Cf x Se)lev. = 1.132 x 22 = 24.9

      Pembangkit #1 (base unit) menghasilkan biaya energi sebagai berikut:
      Eo = 8760 x Co x ( ho x (Cf x F)lev. / 10e6 + (Cf x Ovo)lev. / 10e3 )
      = 8760 x 500 x 10e3 x [ 9500 x 1.87 / 10e6 + 2.72 /10e3 )
      = 89,700,000 $ / year ( USD 89.7 MM / year )

      Pembangkit #2 (alternate unit) menghasilkan biaya energi sebagai berikut:
      E = 8760 x C x [ (1-Rf) / (1-Rfo) ] x ( h x (Cf x F)lev. / 10e6 + (Cf x Ov)lev. / 10e3 )
      + 8760 x [ C – Co (1-Rf) / (1-Rfo) ] x (Cf x Se)lev. / 10e3 )
      = 8760 x 490 x 10e3 x [ (1-0.12) / (1-0.1) ] x ( 10,000 x 1.87 / 10e6 + 2.83 / 10e3 )
      + 8760 x [ 500 – 490 (1-0.12) / (1-0.1) ] x 24.9 / 10e3 )
      = 94,900,000 $ / year ( USD 94.9 MM / year )

      Langkah 4 – Menghitung total lifecycle cost (LCC)

      Pembangkit #1 (base unit) menghasilkan LCC sebagai berikut:
      LCCo = Go + Eo = 87,500,000 + 89,700,000 = 177,200,000 $/year (USD 177.2 MM/year)

      Pembangkit #2 (alternate unit) menghasilkan biaya kapasitas sebagai berikut:
      LCC = G + E = 85,050,500 + 94,900,000 = 180,000,000 $/year (USD 180 MM/year)

      Karena useful life selama 30 tahun, maka Present Worth masing masing pembangkit dapat dihitung dengan CRF(30,0.12) sebagai berikut
      Present Worth pembangkit #1 = PW0 = (177.2) / 0.12414 = ($ 1,427 MM)
      Present Worth pembangkit #2 = PW = (180.0) / 0.12414 = ($ 1,450 MM)
      Present Worth bernilai negatif karena semua berupa komponen biaya.

      Langkah 5 (optional) – perbedaan biaya investasi

      Perbedaan biaya tahunan dapat diubah menjadi perbedaan biaya investasi yang ekuivalen sebesar:
      ΔCapital Cost = ( LCC – LCCo ) / fcr = (180-177.2)/0.18 = USD 15.6 MM

      Atau dengan kata lain, total biaya investasi (plant cost) dari unit alternatif harus direduksi sebesar 15.6 juta dolar agar nilainya sama dengan base unit (pembangkit #1)

      Atau terhadap plant cost alternate unit tersebut, 15.6 x 103 / 490 = 31.8 $/kW

      Dari perhitungan di atas, terlihat LCC pembangkit #1 lebih rendah bila dibandingkan dengan pembangkit #2.

      Bagus W. Wahyuntoro, ME'13

      Hapus
    3. Ms bagus sbelum menjawab pertanyaan diatas saya agak tertarik dan mau menanyakan terkait metode COE dan LCE yg kmren dibahas di kelas, yaitu bilamana kedua metode tsb digunakan? dan dr gambaran dan penjelasan sptnya keduanya tidak bisa di dipakai bersama-sama dalam menentukan keputusan investasi krn memiliki konteks yang sangat berbeda, pertanyaan saya mungkinkah kedua metode ini bisa digabungkan dan bilamana digunakannya sehingga mendapatkan keputusan yang ideal.?

      salam, dedy.r

      Hapus
    4. Ingin memberi tanggapan atas pertanyaan mas dedi, seperti yang telah dijelaskan pada presentasi dan juga dibuku diktat, untuk metode COE resiko kemungkinan misleading cukup beasr mengingat metode tersebut tidak memasukkan beberapa parameter dalam perhitungan seperti kehandalan (force outage), tetapi relatif lebih mudah dan lebih cepat dilakukan karena memang lebih simple.

      Dan mengacu pada kesimpulan di kelas dimana COE lebih tepat dilakukan untuk analisa awal dari pembangkit, kemungkinan penggabungan kedua metode dapat dilakukan dengan cara menggunakan metode COE saat analisa masih dalam preliminary atau analisa awal, dan memberikan hasil dalam nilai range, lalu menggunakan metode LCE untuk analisa yang lebih mendetail dan dibutuhkan keputusan nilai akhir, dengan begini dari sisi keputusan diharapkan dapat mengakomodir metode yang tersedia, dan tetap akurat

      Hapus
  2. 2. Seandainya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dimasukkan ke dalam screening curve, kira-kira bagaimana penggambarannya? Pada range capacity factor seperti apa pembangkit tersebut beroperasi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dalam perencanaan dan operasi sistem tenaga listrik, pemilihan jenis pembangkit selain ditentukan dari biaya tetap dan biaya variabelnya juga ditentukan dari biaya yang dinyatakan dengan fungsi pemanfaatannya.

      Besar kecilnya biaya tetap dan biaya variabel setiap jenis pembangkit berbeda-beda, dan biaya tersebut dapat dinyatakan sebagai fungsi jam operasi,
      Dalam hal ini jenis pembangkit dapat dibagi dalam tiga golongan sbb :

      • Pembangkit dengan biaya tetap yang rendah dan biaya variabel yangtinggi, contoh PLTG

      • Pembangkit dengan biaya tetap yang agak tinggi dan biaya variabel yang agak rendah, contoh PLTU aau PLTGU

      • Pembangkit dengan biaya tetap yang sangat tinggi dan biaya variabel yang rendah sekali, PLTN dan PLTA

      • Selain ditentukan oleh biaya tetap dan biaya variabel, pemilihan jenispembangkit pada waktu perencanaan dan pengoperasian sistem tenagalistrik juga ditentukan oleh karakteristik beban harian sistem tenagalistrik tersebut serta karakteristik operasi pembangkit (response time terhadap perubahan beban = ramp rate pembangkit).artinya dalam metode screening curve posisi atau letak PLTA dilihat dari capacity factor dapat di samakan dengan posisi PLTN.

      Sumber : http://www.slideshare.net/alamtuaralampung/sde-tm12f

      indrawan Nugrahanto ME 13

      Hapus
    2. Pak Indra, berdasarkan Statistik PLN rata-rata Rp/kWH (RP. 155.87/kWH) PLTA lebih murah dibandingkan yang lainnya. Untuk biaya perawatan no.2 terendah setelah PLTP, penyusutan aktiva no.3 terendah setelah PLTU dan PLTP, biaya pegawai dan lain-lain no.2 tertinggi setelah PLTD (semua per kWH).
      Mohon pencerahan mengenai perbedaan dengan penjelasan Pak Indra bisa terjadi?
      Berdasarkan as lowest possible cost seharusnya PLTA menjadi pilihan no.1 untuk base load, mohon pencerahan rekan-rekan dan data-data mengapa PLTA tidak sepenuhnya sebagai pilihan no.1 sebagai base load.

      Hapus
    3. Mas Catur, dari literatur yang sama-sama kita pelajari, hal tersebut benar apabila PLTA tersebut merupakan run-off river. Namun bila PLTA tersebut menggunakan kolam tando (reservoir), dimana aliran sungai dibendung dengan bendungan besar dan terjadi penimbunan air, maka biasanya difungsikan untuk beban puncak. Karena begitu pintu air dibuka dan air dialirkan, maka turbin akan berputar, begitu pula generator dan memikul beban. Pada PLTA run-off river, daya yang dibangkitkan tergantung pada debit air sungai. Terlebih bila musim kemarau tiba, maka akan terjadi kekurangan air sungai. Oleh sebab itu, capacity factor PLTA bergantung pada tipe PLTA tersebut.

      Dibandingkan dengan pembangkit tenaga listrik lainnya dengan daya mampu yang sama, biaya operasi PLTA paling rendah. Akan tetapi, biaya pembangunannya paling mahal. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah perencanaan teknik PLTA lebih banyak bersifat "customized" atau "tailored made" karena tergantung pada kondisi tempat PLTA dibangun; dengan kata lain, sulit dibuat produk standar. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan terlebih bila PLTA menggunakan kolam tando seperti:
      1. Perencanaan bendungan, termasuk material, ketinggian, lebar dan luas lahan yang akan tergenang, dsb.
      2. Letak bangunan turbin, termasuk bagaimana mengalirkan airnya dari bendungan kemudian mengalirkan air balik ke sungai
      3. Tinggi terjun air
      4. Hidrologi atau curah hujan, biasanya membutuhkan data 10 tahun terakhir
      5. Debit sungai, tidak semua sungai di Indonesia dapat dibendung dan dibuat PLTA
      6. Keadaan hutan dan daerah aliran sungai (DAS)
      7. Daya terpasang PLTA dan jumlah unit pembangkit
      8. Pembebanan tidak boleh kurang dari 30% karena akan menimbulkan kavitasi
      9. Macam turbin yang akan digunakan, apakah tipe Pelton, Francis, Kaplan, dsb.
      10. Macam atau tipe katup
      11. Tangki surja
      12. dsb.

      Selain itu, PLTA umumnya terletak di daerah pegunungan, jauh dari pusat konsumsi tenaga listrik sehingga memerlukan saluran transmisi yang amat panjang.

      Sumber:
      1. Marsudi, D. (2011). Pembangkitan Energi Listrik (Edisi kedua). Jakarta: Penerbit Erlangga.
      2. NREL, Utility-Scale Energy Technology Capacity Factors

      Bagus W., ME'13

      Hapus
  3. 3. Bagaimana fuel cost trend energi fosil (batubara, minyak dan gas) di Indonesia? Dari sepuluh tahun terakhir, berapa inflation rate-nya? Sebutkan referensi pendukung.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harga energi fosil di Indonesia selama 10 tahun terakhir cenderung meningkat, walaupun harga gas alam sempat mengalami penurunan pada tahun 2007 dan 2011, begitu juga dengan minyak yang mengalami penurunan pada tahun 2009.

      Berikut adalah tabel harga energi dari tahun 2004-2012 (sumber: Statistik PLN 2012)

      Tahun Batu Bara Gas Alam Minyak
      (Rp/kg) (Rp/MMSCF) (Rp/liter)
      2004 230,75 21.258,05 1.740,31
      2005 251,55 25.323,76 2.574,44
      2006 335,81 24.185,59 4.838,13
      2007 338,76 23.480,99 4.881,43
      2008 489,23 29.128,16 7.906,23
      2009 732,32 37.998,48 5.186,76
      2010 656,71 42.287,16 5.815,65
      2011 698,62 39.867,31 8.188,09
      2012 746,22 63.757,56 8.629,80

      Hapus
    2. trend harga satuan bahan bakar untuk pembangkit listrik terus mengalami kenaikan sejak tahun 2004 sampai tahun 2012, dengan rata-rata kenaikan:
      a. Batubara : 18% (2004: Rp. 231/kg, 2012: Rp. 746/kg)
      b. BBM : 28% (2004: Rp. 1.740/L, 2012: Rp. 8.630/L)
      c. Gas Alam : 16% (2004: Rp. 21.258/MSCF, 2012: Rp. 63.757/MSCF)
      untuk rata-rata inflasi dari tahun 2004 sd 2012 sebesar 7,29%

      Sumber: BPS klik.
      Statistik PLN 2012 klik.

      Hapus
    3. dari 10 tahun terakhir inflation rate dari energi fossil cenderung naik hal ini dapat di buktikan di sumber ini http://www.tradingeconomics.com/indonesia/fossil-fuel-energy-consumption-percent-of-total-wb-data.html.

      Indrawan nugrahanto ME 13

      Hapus
    4. Beberapa mengenai hal ini pernah juga didiskusikan di Website Manajemen Energi - Studi Kasus 1. Mungkin bisa menjadi referensi. Mudah-mudahan bermanfaat.

      Bagus W. Wahyuntoro, ME'13

      Hapus
  4. 4. Dengan tetap menggunakan prinsip “at the lowest possible cost”, pembangkit batubara (PLTU) memiliki biaya pembangkitan yang cukup rendah untuk beban dasar, menurut IEA dan menurut statistik PLN. Mengapa PLTU masih jarang digunakan untuk pembangkit di luar Jawa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pelaksanaan pembangunan proyek PLTU batubara program FTP 1 di luar Jawa Bali mengalami kendala yang mengakibatkan kemunduran dari rencana COD awal pada periode tahun 2010-2012 menjadi tahun 2012-2014, dimana PLTU yang telah COD sampai September 2013 total sebesar 247 MW atau 10% dari total kapasitas yang direncanakan 2.437 MW. Pembangkit yang direncanakan tersebut tersebar di Pulau Sumatera (1.411 MW), Kalimantan (625 MW), Sulawesi (220 MW), Maluku (44 MW), Nusa Tenggara (117 MW) dan Papua (20 MW).
      Selain program FTP 1, sampai dengan tahun 2021 telah direncanakan pembangunan PLTU batubara melalui program FTP 2, KPS dan reguler dengan total kapasitas sebesar 11.205 MW (Indonesia Barat: 6.853 MW dan Indonesia Timur 4.352 MW). Sumber: RUPTL PLN 2012-2021

      Hapus
  5. Kebutuhan listrik di luar jawa tidak terlalu besar apabila dibandingkan di Pulau Jawa, sedangkan biaya pembangunan PLTU membutuhkan biaya yang besar dibandingkan dengan pembangkit-pembangkit lain, sehingga di luar Jawa lebih banyak pembangkit jenis PLTD, PLTA untuk pemenuhan kebutuhan listrik, meskipun biaya operasional PLTU lebih murah dibandingkan pembangkit jenis PLTD.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin bisa penjelasan untuk wilayah luar Jawa yang lebih spesifik. Apakah ada data pendukung untuk pernyataan Ibu Tyas tentang hal tersebut?

      Hapus
    2. I . SECTOR TELLO
      1 WESTCAN W191 G) GTPP 14,466,00 9,000,00 Standby
      2 ALSTHOM (PG 5341) GTPP 21,350,00 14,000,00 Maintenance
      3 ALSTHOM (PG 5341) GTPP 20,100,00 Standby
      4 GENERAL ELECTRIC (MS 6001 B)GTPP33,400,00 21,000,00 30,000,00 Operation
      5 GENERAL ELECTRIC (MS 6001 B) GTPP 33,400,00 28,000,00 Standby
      6 MITSUBISHI (18 V52/55A) DEPP 12,600,00 7,500,00 Maintenance
      7 MITSUBISHI (18 V52/55A) DEPP 12,600,00 8,000,00 8,000,00 Operation
      8 SWD (9 TM 620) DEPP 12,396,00 Maintenance
      9 SWD (9 TM 620) DEPP 12,396,00 Maintenance
      10 NANJING TURBIN CFSPP 500,00 350,00 Operation
      11 NANJING TURBIN CFSPP 500,00 350,00 Operation
      12 TOSHIBA (VF – IRS) HEPP 63,000,00 63,000,00 63,000,00 Operation
      13 TOSHIBA (VF – IRS) HEPP 63,000,00 63,000,00 63,000,00 Operation

      II. SECTOR BAKARU
      1 ZHEJIANG JINLUN (HLA 194 – WJ 50) HEPP 390,00 350,00 356,00 Operation
      2 JINLUN (FRANCIS) HEPP 700,00 650,00 259,00 Operation
      3 JINLUN (FRANCIS) HEPP 700,00 650,00 602,00 Operation
      4 CATERPILLAR (3508) DEPP 800,00 700,00 Standby
      5 CATERPILLAR (3508) DEPP 800,00 700,00 Standby
      6 DEUTZ (BV 8M 628) DEPP 1,224,00 950,00 Standby
      7 MTU (12V 4000 G61) DEPP Standby
      8 MTU (12V 4000 G61) DEPP 1060,00 950,00 Standby
      9 DEUTZ (BV 8M 628) DEPP 1,224,00 950,00 Standby

      III. IPP PROJECT DEPP
      1 PT. COGINDO DAYA BERSAMA DEPP 50,000,00 47,000,00 47,000,00 Operation
      2 PT. SENTRAL DAYA ENERGI DEPP 20,000,00 20,000,00 Operation
      3 PT. BIMA GOLTENS POWERINDOTLS-1 DEPP 15,000,00 15,000,00 Operation
      4 PT. BIMA GOLTENS POWERINDOTLS-1 DEPP 20,000,00 20,000,00 Operation
      5 PT. BUMI BAKARA ENERGI TLS-3 DEPP 25,000,00 25,000,00 Operation
      6 PT. BIMA GOLTENS POWERINDOTLS-4 DEPP 30,000,00 30,000,00 Operation
      7 PT. BIMA GOLTENS POWERINDOTLS-5 DEPP 20,000,00 20,000,00 Operation
      8 PT. SEWATAMA MASAMBA DEPP 5,000,00 5,000,00 5,000,00 Operation
      9 PT. ENERGI SENGKANG GTPP 195,000,00 192,000,00 192,000,00 Operation
      10 PT. MAKASSAR POWER DEPP 60,000,00 60,000,00 59,000,00 Operation
      11 PT. FAJAR PUTRA ENERGI LUWU HEPP 2,400,00 Operation
      12 PT. SULAWESI MINI HYDRO POWER HEPP 10,000,00 10,000,00 8,000,00 Operation
      13 PT. MALEA HEPP
      14 PT. ANOA HYDRO POWER HEPP
      15 PT. BOSOWA ENERGI CFSPP 200,000,00 Operation
      16 PT. POSO ENERGI HEPP 120,000,00 Operation

      TOTAL 1,101,116.00 685,200.00 496,766.00

      Berikut merupakan data yang diambil dari RUPTL untuk system Sulawesi periode 2012-2021.
      Disini diambil contoh untuk daerah sulawesi selatan, terlihat bahwa saat ini kondisi power system di daerah tersebut masih didominasi oleh pembangkit jenis diesel, hydro dan gas turbin. Dalam Tabel tersebut kolom pertama menjelaskan unit pembangkit, kolom kedua tentang jenis pembangkit, kolom ketiga tentang power installed (kw), kolom keempat tentang power capable (kw) kolom kelima tentang peak load (kw) dan kolom keenam tentang status pembangkit. Untuk system unit pembangkit di daerah sulawesi selatan, dibagi 3 unit yaitu sektor Tello, sektor Bakaru dan IPP Project. Namun tidak dipungkiri juga semakin tinggi harga bahan bakar diesel, pemerintah mulai membangun PLTU-PLTU di daerah sulawesi ini. Demikian pak fajar, mungkin ada koreksi atau tambahan dari bapak, maaf mau upload dalam bentuk image buat datanya, belum belum berhasil kemarin.

      Hapus
    3. Mba Tyas,
      Mohon pencerahan, mana yang lebih dahulu suplai listrik atau beban listrik. Karena menurut saya rasio elektrifikasi yang masih berkisar 70-80% dapat diasumsikan bahwa Indonesia masih membutuhkan suplai listrik yang relatif besar selain transmisi baru. Menurut hemat saya, permintaan listrik diluar Jawa yang rendah mungkin juga dikarenakan suplai listrik yang belum mencukupi. Mohon dikoreksi

      Hapus
    4. Menambahkan pendapat mbak Tyas, faktor geografis dan kondisi kebutuhan load apakah terpusat atau tersebar. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah masalah tranportasi batubara ke pembangkitan dan penyimpannya, pembangunan sistem tranmisi. Sebagai contoh pembangunan 6 unit PLTS Hybrid off Grid di Karang Asem Bali. Bu Tyas atau rekan-rekan ada yang mau sharing distribusi dari kebutuhan listrik disalah satu daerah di luar jawa beserta pembangkit listrik?.

      Hapus
    5. Data yang ditampilkan Bu Tyas merupakan kapasitas pembangkit di Sulawesi (luar Jawa), sedangkan besar kebutuhan listrik adalah daya terpasang ditambah permintaan daya dari pelanggan yang belum terlayani.
      Sebagai contoh tingkat elektrifikasi di Sulawesi Tengah pada Maret 2013 baru sebesar 62% sedangkan pertumbuhan konsumsi listrik di Palu Sulawesi Tengah pada tahun 2012 paling tinggi di Indonesia, yaitu 20%.
      Sumber :
      http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi7/2013/apr/22/5707/elektrifikasi-sulawesi-tengah-baru-62-persen
      http://www.pln.co.id/?p=7466

      Irham, ME'13

      Hapus
  6. Esensi COE adalah satuannya, $/MWh sedangkan LCC adalah $/year. Mempelajari metode perhitungannya untuk membandingkan 2 pembangkit di atas, apakah mungkin terjadi inkonsistensi hasil akhirnya? Jika terjadi, mana yang sebaiknya kita pilih?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin saja terjadi perbedaan antara COE dan LCC karena pada perhitungan COE ada variabel yang diabaikan sedangkan di LCC masuk dalam perhitungan. Seperti penjelasan Pak Fajar tentang cara berkomunikasi orang teknik dengan orang keuangan (non teknik), maka COE akan lebih dapat diterima. Akan tetapi saat terjadi perbedaan sebaiknya lebih menggunakan LCC karena perhitungan pada LCC lebih menyeluruh dan mencakup hal-hal yang tidak diperhitungkan dalam COE.

      Hapus
    2. Sesuai dengan yang telah kita pelajari pada comparing alternative dimana biaya yang menjadi salah satu kunci untuk sebuah investasi, jika terjadi inkonsistensi maka perhitungan yang digunakan COE akan digunakan karena output dari suatu pembangkit adalah berapa banyak listrikyang dihasilkan/ Mwh
      argianto
      ME 13

      Hapus
  7. Apakah ada kemungkinan dibuat sama antara COE dan LCC?
    Berdasarkan formula dan perhitungan Pak Bagus, terlihat perbedaan yang paling mendasar pada LCC digunakan kapasitas efektif sedangkan pada menggunakan kapasitas pembangkit.
    $/year masih bisa di konversi menjadi $/MWh dengan estimasi rata-rata pembangkitan per tahun.
    Sedangkan $/MWh bisa dikonversi menjadi $/year dengan estimasi kapasitas efektif pembangkit. Untuk mengestimasi COE secara akurat diperlukan estimasi daya yang dibangkitkan setiap tahun berdasarkan demand forecast dan maintenance forecast. Sehingga didapatkan rata-rata pembangkitan dan $/year yang mendekati dengan metode LCC.

    BalasHapus

Membuat Link Pada Komentar Anda
Agar pembaca bisa langsung klik link address, ketik:
<a href="link address">keyword </a>
Contoh:
Info terkini klik <a href="www.manajemenenergi.org"> disini. </a>
Hasilnya:
Info terkini klik disini.

Menambahkan Gambar Pada Komentar
Anda bisa menambahkan gambar pada komentar, dengan menggunakan NCode berikut:

[ i m ] URL gambar [ / i m ]

Gambar disarankan memiliki lebar tidak lebih dari 500 pixels, agar tidak melebihi kolom komentar.